Sabtu, 04 Juli 2009

bawal spesies baru jadi primadona

Ikan bawal hasil budidaya Balai Budidaya Laut Batam, menjadi primadona saat Pameran Indonesian Aquaculture 2009, di Gedung Manado Convention Center, Manado, Selasa (12/5).
Pameran ini digelar bersamaan dengan dibukanya Internasional Symposium on Ocean Science Technology and Policy oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi.


Pameran tersebut menampilkan produk budidaya perikanan andalan dari 59 kota, kabupaten, dan provinsi yang ada di seluruh Indonesia. Dibuka oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi dan menyita perhatian para tamu undangan yang menghadiri Simposium Ocean Science di MCC.

Dari semua stand yang ada, stand milik Pemerintah Kota Batam paling banyak dikunjungi masyarakat maupun peserta dari pelbagai negara. Anggota DPR RI Siswono Yudhohusodo dan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi juga tertarik singgah di stan milik Pemko Batam itu.

Stand Pemko Batam menampilkan produk budidaya andalannya, yakni Bawal Bintang. Ini merupakan spesies baru Bawal hasil perkawinan silang dengan indukan bawal Taiwan.

Al Kadliory, staf Balai Budidaya Laut Batam mengatakan, pihaknya berhasil membudidayakan spesies bawal jenis ikan laut ini di tahun 2007 silam. "Proyek ini sudah kami lakukan sejak 2002 yang lalu, dari sejumlah uji coba, baru di tahun 2007 kami berhasil membudidayakan varian baru ikan bawal," tuturnya.

Ia mengatakan Bawal Bintang merupakan varietas unggulan, karena mudah dipelihara, tidak kanibal, mudah menyesuaikan diri terhadap lingkungan, harga jual yang menjanjikan, dan memiliki masa produksi yang relatif cepat.

"Bawal Bintang yang sudah berukuran tiga cm sudah dapat dipindahkan ke keramba, setelah menunggu tujuh hingga delapan bulan, atau seberat setengah kg sudah dapat dituai," ujarnya.
Selain itu, kelebihan lainnya dalam masa pembuahan, ikan ini dapat menghasilkan sebanyak delapan hingga 12 juta telur, dengan tingkat keberhasilan sebanyak 300 hingga 500 ribu ekor Bawal Bintang Muda, dari satu induk pembiakan.

Saat ini proyek pembiakan Bawal Bintang, sudah di adopsi oleh provinsi- provinsi lainnya di Indonesia, termasuk Jakarta, tepatnya di tempat pembiakan Bawal Bintang di Kepulauan Seribu.(tribun manado/samuel)

sumber : MANADO, TRIBUN
http://www.tribunbatam.co.id

Lele Paiton, Dua Bulan Panen

BERMODAL Rp170 juta, Lin, panggilannya, membentengi lahan seluas 1.300 m2 di Desa Larangan, Cilegon, Provinsi Banten, dengan tembok semen setinggi 2 m. Di lahan itu, alumnus sekolah perawat di Cikini, Jakarta Pusat itu membangun 7 kolam tanah berukuran sama: 5 x 7 meter.


Tidak semua kolam itu berisi lele. Lin hanya membenamkan 4.000 bibit paiton sepanjang 8--10 cm masing-masing di tiga petak kolam. Maklum ini budi daya pertama.

Lin membeli bibit paiton Rp250 per ekor itu dari Pusat Pembibitan Lele Paiton di Pandeglang Provinsi Banten. Paiton dipilih karena laju pertumbuhannya jauh lebih cepat daripada dumbo.

Paiton merupakan silangan betina lele eks thailand dan jantan dumbo. Untuk mencapai ukuran konsumsi 7--10 ekor/kg Clarias gariepinius itu cukup dipelihara 2 bulan; dumbo 3 bulan.

Dengan tingkat kematian di tahap pembesaran 5%, dari total 12 ribu bibit ditebar, 11.400 ekor bertahan hidup sampai akhir Februari 2009. Selepas sortir, Lin memanen 6.000 ekor ukuran konsumsi, total berbobot 4,5 kuintal. Pengepul ikan di Pasar Cilegon membelinya Rp10 ribu per kg.

Pada panen perdana itu Lin mengantongi pendapatan Rp4,5 juta. Dipotong ongkos produksi Rp8.500/kg, ibu satu putra itu mengantongi laba bersih Rp675 ribu.

Sekitar 20 hari berikutnya 5.400 paiton tidak lolos sortir tahap awal siap dipanen. Artinya Lin mendulang 4,5 kuintal lagi.

Sangkuriang

Nun di Sleman, Yogyakarta, Erli membenamkan 14 ribu bibit lele di kolam seluas 48 m®MDSU¯2 pada akhir Desember 2008. Dua bulan berikutnya peternak di Desa Sindumartani itu menjala 1 ton clarias. Dengan harga jual ukuran konsumsi Rp10.500/kg.

Erli menangguk pendapatan Rp10,5 juta. Setelah dikurangi biaya produksi Rp8.000/kg, ia meraup laba bersih Rp2,5 juta.

Sejatinya Erli meraup laba bersih sebesar itu setelah tiga bulan memelihara lele. Namun, hal itu terjadi saat masih beternak dumbo. Kini yang dipeliharanya jenis sangkuriang. Inilah lele unggul hasil perbaikan genetik dumbo, silangan crossback antara induk dumbo betina F2 dan jantan F6.

Peneliti Balai Besar Pengembangan Budi Daya Air Tawar (BBPBAT) di Sukabumi merilisnya lima tahun silam setelah terbukti sangkuriang dapat dipanen cepat, 60 hari. Keunggulan lain, nilai konversi pakan rendah, FCR 0,9; dumbo FCR 1,0-1,1.

FCR penting karena memengaruhi pendapatan peternak. Begini gambarannya. FCR sangkuriang 0,9, artinya untuk menghasilkan 100 kg sangkuriang dibutuhkan 90 kg pakan.

Dengan volume pakan serupa, cuma diperoleh 90 kg dumbo. Di sini terdapat selisih bobot panen 10 kg atau setara Rp105 ribu/kg. Jika Erli memanen 1 ton, sesungguhnya ia mengantongi penghasilan plus Rp1,05 juta.

Lele paiton dan sangkuriang memang membuat peternak jatuh hati. Marliana dan Erli terpincut karena kedua jenis lele itu mempunyai waktu budi daya singkat, 60 hari. "Dengan singkatnya masa produksi, perputaran uang juga cepat sehingga bisa menambah modal atau nafkah," kata Wagiran, Ketua Kelompok Perikanan Trunojoyo di Kulonprogo, Yogyakarta.

Menurut Ade Sunarma MSi, periset sangkuriang dari BBPBAT, sangkuriang lahir sebagai jawaban keluhan peternak atas lamanya waktu budi daya dumbo. Saat pertama kali masuk di Tanah Air pada pertengahan 1990-an, masa budi daya lele asal Thailand itu cukup singkat, ukuran konsumsi dicapai 60--70 hari dari bibit ukuran 3--5 cm.

Namun, seiring terjadinya inbreeding alias perkawinan sedarah sesama induk, ukuran konsumsi dicapai 100 hari. "Makanya dilakukan perbaikan mutu sehingga muncul sangkuriang yang cepat panen," kata Ade. Alasan sama juga berlaku untuk paiton.

Tren

Budi daya lele memang tengah marak. Penelusuran Trubus ke sentra lele seperti Bogor dan Indramayu (Jawa Barat), Kulonprogo dan Slemen (Yogyakarta), hingga Boyolali (Jawa Tengah) menunjukkan terjadinya kenaikan jumlah peternak.

Menurut Wagiran, di Kecamatan Wates, Kabupaten Kulonprogo, kini terdapat 208 kelompok perikanan yang terdaftar di Dinas Perikanan. "Dari jumlah itu 70% di antaranya pembesar sangkuriang dan paiton."

Menurut Tati, S.P. dari Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya, Departemen Kelautan dan Perikanan, peternak pemula lele pada 2008 mencapai 637 kelompok dengan anggota 6.200 peternak.

Penyebabnya tidak terbatas di Pulau Jawa, tetapi ke daerah lain: Nusa Tenggara Barat (49 kelompok, 575 peternak), Nusa Tenggara Timur (14 kelompok 96 peternak), Jambi (15 kelompok, 183 peternak), hingga Riau (18 kelompok, 125 peternak), dan Kepulauan Riau (76 kelompok, 764 peternak). Jenis yang dikembangkan dumbo, sangkuriang, dan paiton.

Menurut Saptono, Ketua Kelompok Tani Mino Ngremboko di Sleman, Yogyakarta, lele selalu dibutuhkan konsumen untuk memenuhi kecukupan gizi. Apalagi kini harga sumber protein hewani seperti daging sapi dan ayam sulit dijangkau.

Penyerap terbesar rumah makan kakilima atau warung tenda yang menjamur di sepanjang jalan kota-kota besar. "Kebutuhan mereka cenderung bertambah," kata Saptono yang mencontohkan kebutuhan Kota Gudeg 30 ton lele/hari, tetapi baru terpenuhi setengahnya. Hal sama terjadi di Jakarta (75 ton/hari) dan Malang (4 ton/hari).

Daya tarik itu pula yang menggiring Sambas beternak sangkuriang. Peternak di Desa Kracak, Leuwiliang, Kabupaten Bogor itu mengelola 10 kolam bervariasi ukuran: 6 m x 10 m dan 8 m x 10 m di lahan 1 hektare. Rata-rata setiap bulan ia memanen 4,2 ton lele. Sambas dengan mudah memasarkan hasil panenannya. "Berapapun produksi saya bisa menjualnya," kata dia. Mitra pedagang pengepul bahkan meminta Sambas menyuplai 1--3 ton per hari.

Sumber : Lampung Post (2009)