Bermodalkan hanya kebun seluas dua hektar, dan pengetahuan dari pelatihan, maka jadilah Bambang Sriono menjadi salah satu dari 14 pengusaha kopi bubuk di Kecamatan Sumberwringin, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, yang terus bertahan hingga kini.
Bambang, yang juga Ketua Asosiasi Petani Kopi Indonesia (APEKI) Bondowoso, menyebutkan menjadi petani merupakan pekerjaan yang mendatangkan kesejahteraan dibandingkan dengan pekerjaan sebelumnya. Ia sempat menjadi sales bahan bangunan, hingga pengelola hotel. "Jadi, kalau dilihat dari latar belakang pendidikan itu nggak ada. (Pendidikan) saya dari teknik kimia. Sekarang petani kopi," ungkapnya sembari tertawa kecil, kepada Kompas.com, usai menghadiri peluncuran perdana kopi hasil perkebunan rakyat ke Swiss, di Bondowoso, 10 Juni 2011 lalu.
"Jadi ilmu saya yang saya dapat dari Puslit, saya terapkan. Ya, jadi modalnya kemauan," sebutnya.
Menurutnya ilmu dan tanah, juga kemauan tersebut menjadi modal awalnya baginya, sehingga ia merasa tidak terkendala oleh dana. Bahkan saat ini, lembaga perbankan ramai menawarkan bantuan dana. "Seperti Bank Indonesia ini lewat CSR (Corporate Social Responsbility)-nya. Terus, dari Puslit, ilmu dan teknologinya," ungkapnya.
Ia pun mulai bertani sejak tahun 2000 . Selang enam tahun kemudian, ( 2006 ), ia pun mulai menelurkan merek Rajawali, untuk kopi bubuk arabika dan robusta. "Cuma waktu itu kemasannya pakai seperti itu (kemasan plastik biasa)," ungkapnya. Akhirnya kemasan pun berubah seiring dengan masukan dari Bupati setempat.
Saat itu, ia mematok harga produknya hanya Rp 3.500 per 200 gram. Kini harganya mencapai Rp 8000 per 160 gram untuk robusta, Rp 15.000 untuk arabika dengan satuan berat yang sama.
Ia mengaku bahwa dialah petani yang mengawali memanen kopi dengan "petik merah," dan proses menggunakan proses basah (wet process), di Bondowoso. Apa maksudnya petik merah? Ia menyebutkan selama ini panen yang dilakukan petani di wilayah tersebut, masih mencampur antara biji kopi yang berwarna merah, kuning, dan hijau pada saat panen. "Nah, kalau kami sudah petik merah dari 2005 . Jadi khusus yang buah merah segar dan sehat (BMSS), sebagai syarat untuk mendapatkan mutu berkualitas ekspor," tambahnya.
Petik merah baru dilakukan di lima kelompok tani, atau sekitar 152 petani kopi, mulai tahun 2011 ini, setelah mendapatkan binaan langsung dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. "Jadi saya yang pertama kali melakukan itu di tingkat petani di Bondowoso," sebutnya.
Menurut dia, sebenarnya pada pelatihan yang dikirim oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan Bondowoso tersebut, ada beberapa petani yang juga dikirim selain dirinya. Tetapi hanya dia yang mengaplikasikannya sendiri.
Adapun proses basah adalah pengolahan pasca-panen dengan menggunakan air. Media ini digunakan untuk memisahkan biji yang bagus untuk diolah lebih lanjut dengan biji yang tidak bagus. "Selama ini petani kan pakai dry process (DP). Begitu dapat dari kebun langsung dijemur dengan kulitnya," ungkapnya.
Cara pengerjaan ini memang terbilang repot, dan butuh ketelatenan. Oleh karena itu, ia menyebutkan, mungkin ini menjadi alasan dari petani yang juga ikut dikirim bersama dengan dia, tidak menerapkannya. Sekarang banyak yang tertarik ikut melakukan proses ini, setelah melihat harga yang didapat lumayan besar.
"Kalau sekarang ini dengan didampingi Puslit (Kopi dan Kakao), terus ada BI (Bank Indonesia), terus semuanya komponen ada. Rupanya kita jadi tahu pasarnya. Jadi lewat eksportir, kita sudah tahu harganya dan jelas pasarnya," ungkapnya.
Sekarang memang sudah dibangun kluster kopi di Bondowoso, oleh sejumlah pihak seperti Pemerintah Daerah Kabupaten Bondosowoso, Bank Indonesia, Bank Jatim, ADN Perhutani, eksportir, serta APEKI, untuk mengembangkan produk.
Saat ini, ia pun mempunyai lima pekerja dalam mengolah kopi bubuknya, dan mengelola kebunnya yang seluas dua hektar. "Jadi sebelum dikemas, kita perlu uji dulu cita rasa dan timbangannya," tuturnya, yang merupakan bagian dari pekerjaannya selain mengawasi kebun dan pengolahan.
Pada tahun 2007 , produk kopi bubuk Rajawali, baik arabika dan robusta, dipasarkan ke Sumatera, termasuk Jakarta, Semarang, dan Malang. Namun, pemasaran ke kota-kota tersebut masih kecil, dengan 10-20 kilogram per bulannya. Awalnya pemasaran ke kota-kota tersebut, tidak dilakukan secara resmi. "Dititipkan lewat saudara-saudara, baru kemudian berkembang," ungkapnya.
Saat ini, ekspor produk Rajawali ini pun belum dilakukan. Ekspor masih dalam bentuk biji bersama dengan kelompok tani lainnya, yang melakukan pemasaran internasional secara perdana ke Swiss pada November nanti, sebanyak 1 kontainer atau sekitar 18 ton.
Lagipula, lanjut dia, produksi kopi ini pun masih terbatas. Sehingga memenuhi permintaan pasar masih sering kewalahan. Apalagi menjelang Hari Raya Lebaran, di mana banyak pesanan parcel diisi dengan produk kopinya.
Rencana ke depan, ia berkeinginan untuk memperluas lahannya. "Kalau mau mencermati nggak ada sejarahnya kopi bubuk itu harganya turun," sebutnya. Maka ia pun heran, kalau ada pelaku usaha kopi bubuk yang kurang menekuni usahanya.
Selain perluasan lahan, Bambang, yang juga Ketua Forum 'Ahli' Pertanian Madani (Rumah Tani) Bondowoso, pun akan mencoba diversifikasi produk kopi, seperti buat dodol kopi, dan permen rasa kopi.
"Jadi ilmu saya yang saya dapat dari Puslit, saya terapkan. Ya, jadi modalnya kemauan," sebutnya.
Menurutnya ilmu dan tanah, juga kemauan tersebut menjadi modal awalnya baginya, sehingga ia merasa tidak terkendala oleh dana. Bahkan saat ini, lembaga perbankan ramai menawarkan bantuan dana. "Seperti Bank Indonesia ini lewat CSR (Corporate Social Responsbility)-nya. Terus, dari Puslit, ilmu dan teknologinya," ungkapnya.
Ia pun mulai bertani sejak tahun 2000 . Selang enam tahun kemudian, ( 2006 ), ia pun mulai menelurkan merek Rajawali, untuk kopi bubuk arabika dan robusta. "Cuma waktu itu kemasannya pakai seperti itu (kemasan plastik biasa)," ungkapnya. Akhirnya kemasan pun berubah seiring dengan masukan dari Bupati setempat.
Saat itu, ia mematok harga produknya hanya Rp 3.500 per 200 gram. Kini harganya mencapai Rp 8000 per 160 gram untuk robusta, Rp 15.000 untuk arabika dengan satuan berat yang sama.
Ia mengaku bahwa dialah petani yang mengawali memanen kopi dengan "petik merah," dan proses menggunakan proses basah (wet process), di Bondowoso. Apa maksudnya petik merah? Ia menyebutkan selama ini panen yang dilakukan petani di wilayah tersebut, masih mencampur antara biji kopi yang berwarna merah, kuning, dan hijau pada saat panen. "Nah, kalau kami sudah petik merah dari 2005 . Jadi khusus yang buah merah segar dan sehat (BMSS), sebagai syarat untuk mendapatkan mutu berkualitas ekspor," tambahnya.
Petik merah baru dilakukan di lima kelompok tani, atau sekitar 152 petani kopi, mulai tahun 2011 ini, setelah mendapatkan binaan langsung dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. "Jadi saya yang pertama kali melakukan itu di tingkat petani di Bondowoso," sebutnya.
Menurut dia, sebenarnya pada pelatihan yang dikirim oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan Bondowoso tersebut, ada beberapa petani yang juga dikirim selain dirinya. Tetapi hanya dia yang mengaplikasikannya sendiri.
Adapun proses basah adalah pengolahan pasca-panen dengan menggunakan air. Media ini digunakan untuk memisahkan biji yang bagus untuk diolah lebih lanjut dengan biji yang tidak bagus. "Selama ini petani kan pakai dry process (DP). Begitu dapat dari kebun langsung dijemur dengan kulitnya," ungkapnya.
Cara pengerjaan ini memang terbilang repot, dan butuh ketelatenan. Oleh karena itu, ia menyebutkan, mungkin ini menjadi alasan dari petani yang juga ikut dikirim bersama dengan dia, tidak menerapkannya. Sekarang banyak yang tertarik ikut melakukan proses ini, setelah melihat harga yang didapat lumayan besar.
"Kalau sekarang ini dengan didampingi Puslit (Kopi dan Kakao), terus ada BI (Bank Indonesia), terus semuanya komponen ada. Rupanya kita jadi tahu pasarnya. Jadi lewat eksportir, kita sudah tahu harganya dan jelas pasarnya," ungkapnya.
Sekarang memang sudah dibangun kluster kopi di Bondowoso, oleh sejumlah pihak seperti Pemerintah Daerah Kabupaten Bondosowoso, Bank Indonesia, Bank Jatim, ADN Perhutani, eksportir, serta APEKI, untuk mengembangkan produk.
Saat ini, ia pun mempunyai lima pekerja dalam mengolah kopi bubuknya, dan mengelola kebunnya yang seluas dua hektar. "Jadi sebelum dikemas, kita perlu uji dulu cita rasa dan timbangannya," tuturnya, yang merupakan bagian dari pekerjaannya selain mengawasi kebun dan pengolahan.
Pada tahun 2007 , produk kopi bubuk Rajawali, baik arabika dan robusta, dipasarkan ke Sumatera, termasuk Jakarta, Semarang, dan Malang. Namun, pemasaran ke kota-kota tersebut masih kecil, dengan 10-20 kilogram per bulannya. Awalnya pemasaran ke kota-kota tersebut, tidak dilakukan secara resmi. "Dititipkan lewat saudara-saudara, baru kemudian berkembang," ungkapnya.
Saat ini, ekspor produk Rajawali ini pun belum dilakukan. Ekspor masih dalam bentuk biji bersama dengan kelompok tani lainnya, yang melakukan pemasaran internasional secara perdana ke Swiss pada November nanti, sebanyak 1 kontainer atau sekitar 18 ton.
Lagipula, lanjut dia, produksi kopi ini pun masih terbatas. Sehingga memenuhi permintaan pasar masih sering kewalahan. Apalagi menjelang Hari Raya Lebaran, di mana banyak pesanan parcel diisi dengan produk kopinya.
Rencana ke depan, ia berkeinginan untuk memperluas lahannya. "Kalau mau mencermati nggak ada sejarahnya kopi bubuk itu harganya turun," sebutnya. Maka ia pun heran, kalau ada pelaku usaha kopi bubuk yang kurang menekuni usahanya.
Selain perluasan lahan, Bambang, yang juga Ketua Forum 'Ahli' Pertanian Madani (Rumah Tani) Bondowoso, pun akan mencoba diversifikasi produk kopi, seperti buat dodol kopi, dan permen rasa kopi.
No response to “Pengelola Hotel Jadi Petani Kopi”
Leave a Reply