Kompas.com/Christina Andhika Setyantisang burung biru, menjadi lambang perjuangan usaha keras seorang ibu untuk menghidupi anak-anaknya dan mendirikan cikal bakal perusahaan taksi besar di Indonesia.
KOMPAS.com - Kita bukan perusahaan taksi biasa. Kita adalah armada taksi yang memberikan pelayanan ekstra. Profesionalisme kita menentukan perusahaan ini akan maju atau tidak. Kredibilitas baik yang kita bangun hari ini adalah masa depan kita.
Petuah dari (almarhumah) Ibu Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono, pendiri Blue Bird, itu merupakan napas hidup perusahaan taksi terkemuka di Indonesia tersebut.
Pelajaran hidup Bu Djoko, demikian ia biasa dipanggil, dan keluarga dalam membangun Blue Bird itu diuntai dalam kalimat dan bab demi bab pada buku Sang Burung Biru: Perjalanan Inspiratif Blue Bird Group setebal 340 halaman yang ditulis Alberthiene Endah dan diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama (2012).
”Ide membuat buku ini atas keprihatinan terhadap generasi muda yang ingin serba instan. Kesuksesan butuh kerja keras bertahun-tahun,” kata Noni Purnomo, Vice President Business Development Blue Bird, Selasa (29/5/2012), dalam peluncuran buku tersebut di Jakarta.
Bermula dari dua mobil bekas pada Oktober 1965, Bu Djoko merintis usaha taksi yang dikenal sebagai Taksi Chandra. Blue Bird pun resmi beroperasi sejak Mei 1972 dan kini armadanya mencapai 22.000 unit. Tiap bulan, 33.000 pegawai Blue Bird melayani 8,5 juta orang.
Perjalanan Blue Bird tak selalu mulus. Pengajuan izin usaha pada tahun 1971 ditolak pejabat dinas lalu lintas angkutan jalan raya. ”Maaf, Bu, bisnis Ibu kelasnya masih kecil... semua yang menjalankan bisnis taksi adalah perusahaan yang menjalankan bisnis angkutan besar,” ujar seorang pejabat ketika itu. Surat permohonan yang diajukan pun digeser.
Waktu pula yang mendewasakan Blue Bird. Dari semula pelayanan menggunakan radio panggil, saat ini reservasi dapat melalui Blackberry, iPhone, dan Android, dengan sistem taxi mobile reservation (TMR). Namun, justru bukan teknologi yang menjadi kekuatan Blue Bird, melainkan pelayanannya.
Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama pun mengakui, ”Blue Bird merupakan satu contoh usaha yang menjadi besar karena keluhuran karakter yang mengalir melalui setiap detail layanannya.”
Salah satu contoh soal keluhuran karakter, apabila barang penumpang tertinggal, seorang sopir taksi Blue Bird pasti akan mengembalikan barang bawaan Anda yang tertinggal sekalipun malam telah larut!(HARYO DAMARDONO)
Petuah dari (almarhumah) Ibu Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono, pendiri Blue Bird, itu merupakan napas hidup perusahaan taksi terkemuka di Indonesia tersebut.
Pelajaran hidup Bu Djoko, demikian ia biasa dipanggil, dan keluarga dalam membangun Blue Bird itu diuntai dalam kalimat dan bab demi bab pada buku Sang Burung Biru: Perjalanan Inspiratif Blue Bird Group setebal 340 halaman yang ditulis Alberthiene Endah dan diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama (2012).
”Ide membuat buku ini atas keprihatinan terhadap generasi muda yang ingin serba instan. Kesuksesan butuh kerja keras bertahun-tahun,” kata Noni Purnomo, Vice President Business Development Blue Bird, Selasa (29/5/2012), dalam peluncuran buku tersebut di Jakarta.
Bermula dari dua mobil bekas pada Oktober 1965, Bu Djoko merintis usaha taksi yang dikenal sebagai Taksi Chandra. Blue Bird pun resmi beroperasi sejak Mei 1972 dan kini armadanya mencapai 22.000 unit. Tiap bulan, 33.000 pegawai Blue Bird melayani 8,5 juta orang.
Perjalanan Blue Bird tak selalu mulus. Pengajuan izin usaha pada tahun 1971 ditolak pejabat dinas lalu lintas angkutan jalan raya. ”Maaf, Bu, bisnis Ibu kelasnya masih kecil... semua yang menjalankan bisnis taksi adalah perusahaan yang menjalankan bisnis angkutan besar,” ujar seorang pejabat ketika itu. Surat permohonan yang diajukan pun digeser.
Waktu pula yang mendewasakan Blue Bird. Dari semula pelayanan menggunakan radio panggil, saat ini reservasi dapat melalui Blackberry, iPhone, dan Android, dengan sistem taxi mobile reservation (TMR). Namun, justru bukan teknologi yang menjadi kekuatan Blue Bird, melainkan pelayanannya.
Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama pun mengakui, ”Blue Bird merupakan satu contoh usaha yang menjadi besar karena keluhuran karakter yang mengalir melalui setiap detail layanannya.”
Salah satu contoh soal keluhuran karakter, apabila barang penumpang tertinggal, seorang sopir taksi Blue Bird pasti akan mengembalikan barang bawaan Anda yang tertinggal sekalipun malam telah larut!(HARYO DAMARDONO)
No response to “Kisah Taksi Blue Bird, Sang Burung Biru”
Leave a Reply