Senin, 18 Februari 2013

Budidaya Athurium FUlll


PERBANYAKAN ANTHURIUM

PERBANYAKAN
Anthurium dapat diperbanyak dengan 2 cara, yaitu generatif (biji) dan vegetatif (stek).
1.Perbanyakan dengan cara generatif (biji) Tanaman anthurium memiliki 2 macam bunga (Gambar 1) yaitu bunga jantan dan bunga betina. Bunga jantan ditandai oleh adanya benang sari, sedangkan bunga betina ditandai oleh adanya lendir. Biji diperoleh dengan menyilangkan bunga jantan dan bunga betina. Dengan menggunakan jentik, bunga sari diambil dan dioleskan sampai rata di bagian lendir pada bunga betina. Sekitar 2 bulan kemudian, bunga yang dihasilkan sudah masak, di dalamnya terdapat banyak biji anthurium. Biji-biji tersebut di kupas, dicuci sampai bersih dan diangin-anginkan, kemudian ditabur  pada medium tanah halus. Persemaian ditempatkan pada kondisi lembab dan selalu disiram.

2. Perbanyakan dengan cara vegetatif (stek)
Ada 2 cara perbanyakan secara vegetatif, yaitu stek batang dan stek mata tunas. Cara perbanyakan dengan stek batang adalah memotong bagian atas tanaman (batang) dengan menyertakan 1 – 3 akar, bagian atas tanaman ‘yang telah dipotong kemudian ditanam, pada medium tumbuh yang telah disiapkan. Sebaliknya perbanyakan dengan mata tunas adalah mengambil satu mata pada cabang, kemudian menanam mata tunas pada medium tumbuh yang telah disiapkan.
PENYIAPAN MEDIA TANAM
Berdasarkan kegunaannya, medium tumbuh dibagi menjadi 2 macam, yaitu medium tumbuh untuk persemaian dan untuk tanaman dewasa. Medium tumbuh terdiri dari campuran humus, pupuk kandang dan pasir kali. Humus  atau tanah hutan dan pupuk kandang yang sudah jadi di ayak dengan ukuran ayakan 1 cm, sedangkan pasir kali di ayak dengan ukuran ayakan 3 mm.
Humus, pupuk kandang dan pasir kali yang telah di ayak, dicampur dengan perbandingan 5 : 5 : 2. Untuk persemaian, medium tumbuh perlu disterilkan dengan cara mengukus selama satu jam.
PENYIAPAN POT
Untuk menanam bunga anthurium, dapat digunakan pot tanah, pot plastik atau pot straso. Pot yang paling baik adalah pot tanah karena memiliki banyak pori-pori yang dapat meresap udara dari luar pot. Apabila digunakan pot yang masih baru, pot perlu direndam dalam air selama 10 menit. Bagian bawah pot diberi pecahan genting/pot yang melengkung, kemudian di atasnya diberi pecahan batu merah setebal 1/4 tinggi pot. Medium tumbuh berupa campuran humus, pupuk kandang dan pasir kali dimasukkan dalam pot
PEMELIHARAAN
Setelah tanam, tanaman dipelihara dengan menyiram 1 – 2 kali sehari. Daun yang sudah tua atau rusak karena hama dan penyakit, dipotong agar tanaman tampak bersih dan menarik. Sebaiknya tanaman ini dipelihara di tempat teduh karena tanaman tidak tahan sinar matahari langsung.

PEMELIHARAAN DAN PERAWATAN

Pemeliharaan & Perawatan
Untuk mendapatkan tanaman yang prima maka kita harus memelihara dan merawatnya sebaik mungkin. Pemeliharaan dan perawatan yang harus dilakukan meliputi penyiraman, pemupukan da membersihkan daun dari debu dan kotoran yang menempel serta memotong daun yang menguning. Di smping itu kegiatan pemeliharaan yang tidak terlupakan adalah repotting. Repotting merupakan kegiatan penggantian pot dan sekaligus media karena ukuran tanaman dan potnya sudah tidak sesuai lagi. Langkah-langkah repotting seperti langkah-langkah yang dilakukan pada penanaman. Namun yang perlu diperhatikan dalam repotting ini adalah memotong dan membersihkan akar-akar yang busuk dan mengatur perakaran pada media dan pot yang baru. Pengaturan perakaran ini dimaksudkan agar semua bagian akar dapat kontak langsung dengan media. Jangan sampai akar tidak menempel pada media (ada rongga antara media dan akar) karena hal ini akan menyebabkan membusuknya akar dan akibatnya tanaman akan menjadi tidak sehat. Pengairan dilakukan dengan alat semprot dan dikenakan keseluruh bagian tanaman dilakukan 2-3 hari sekali dengan melihat kondisi media. Media dijaga agar tidak terlalu lembab dan tidak terlalu kering. Pupuk yang diberikan sebaiknya pupuk majemuk (N, P dan K) yang penyediaannya lambat (slow riliaze) diberikan 2-3 bulan sekali dengan dosis sesuai anjuran dan besarnya tanaman. Di samping itu juga perlu ditambahkan pupuk daun yang diberikan setipa 1-2 minggu sekali. Untuk menjaga penampilan agar daun tampil bersih dan mengkilap maka daun yang ada perlu dibersihkan dengan lap yang lembut yang telah dibasahi dengan air. Daun-daun yang telah tua dan menguning perlu dipotong.

SYARAT TUMBUH

SYARAT TUMBUH
Kebutuhan Cahaya Untuk mendapatkan cahaya yang sesuai, pembudidayaan yang dilakukan pada daerah dataran rendah membutuhkan bangunan dengan atap naungan paranet 60-70%. Untuk dataran sedang menggunakan naungan paranet 50%. Sedang untuk dataran tinggi cukup digunakan atap paranet 25%. Jika cahaya terlalu banyak, daun akan menguning dan kering, sebaliknya bila cahaya kurang daun nampak lemas dan pucat, serta daun dan tangkainya cenderung memanjang. Kebutuhan Suhu Suhu lingkungan yang optimal berkisar antara 18º-31º C. penampilan daun akan lebih mengkilap bilaman a perbedaan suhu siang dan malam tidak terlalu mencolok. Kondisi ini akan membantu membentuknya klorofil sehingga warna daun menjadi lebih hijau dan mengkilap. Untuk hal itu maka bilamana suhu siang terlalu tinggi, pada lingkungan pertanaman perlu ditambah kipas angin untuk menurunkan suhu. Kebutuhan Kelembaban Kelembaban udara yang cocok untuk pertumbuhan si raja daun ini berkisar antara 60%-80%. Bilamana kelembaban udara terlalu kering maka perlu penyemprotan air di sekitar tanaman. Sebaliknya bila terlalu lembab perlu dipasang kipas angin. Sirkulasi Udara Angin semilir akan memberikan kondisi yang baik bagi tanaman, karena dengan adanya angin yang bertiup perlahan akan membuat hawa yang sejuk. Oleh karena itu peranan kipas angin yang dipasang di lingkungan pertanaman akan berperan ganda, yakni menyejukan udara, menjaga kelembaban udara dan menjaga suhu udara. MORFOLOGI TANAMAN Anthurium termasuk keluarga Araceae yang mempunyai perakaran yang banyak, batang dan daun yang kokoh, serta bunga berbentuk ekor.
AKAR
Anthurium yang sehat mempunyai jumlah akar yang banyak, berwarna putih dan menyebar ke segala arah. Oleh sebab itu membutuhkan media yang porous.
BATANG
Batang Anthurium tidak nampak karena terbenam di dalam media. Setelah tanaman dewasa batang ini akan membesar menjadi bonggol.
DAUN
Daun Anthurium pada umumnya tebal dan kaku, bentuknya bervariasi seperti berbentuk jantung, lonjong, lancip, dan memanjang. Untuk Anthurium daun, kekompakan bentuk daun meningkatkan nilai estetikanya.
BUNGA
Anthurium mempunyai bunga berumah satu artinya dalam satu bunga terkandung sel kelamin betina dan sel kelamin jantan. Bunga terdiri dari tangkai, mahkota, dan tongkol. Semua bagian bunga tersebut menjadi satu kesatuan dan berbentuk seperti ekor, sehingga Anthurium dikenal dengan si bunga ekor. Putik dan tepung sari menempel pada tongkol. Masaknya putik dan tepung sari tidak bersamaan (dichogamaous). Pada umumnya putik masak lebih awal dibanding tepung sari.
BUAH DAN BIJI
Buah berbentuk bulat dan menempel pada tongkol, buah muda berwarna hijau setelah masak berwarna merah. Biji yang telah masak akan terlepas dari tongkolnya, biji inilah yang baik untuk disemai. Bibit yang dihasilkan dari biji, umumnya mempunyai sifat yang berbeda dari induknya.

GALERY FOTO

Sejarah Anthurim

Anthurium termasuk tanaman dari keluarga Araceae. Tanaman berdaun indah ini masih berkerabat dengan sejumlah tanaman hias populer semacam aglaonema, philodendron,keladi hias, dan alokasia. Dalam keluarga araceae,anthurium adalah genus dengan jumlah jenis terbanyak. Diperkirakan ada sekitar 1000 jenis anggota marga anthurium.
Tanaman ini termasuk jenis tanaman evergreen atau tidak mengenal masa dormansi. Dialam, biasanya tanaman ini hidup secara epifit dengan menempel di batang pohon. Dapat juga hidup secara terestrial di dasar hutan.
Daya tarik utama dari anthurium adalah bentuk daunnya yang indah, unik, dan bervariasi. Daun umumnya berwarna hijau tua dengan urat dan tulang daun besar dan menonjol. Sehingga membuat sosok tanaman ini tampak kekar namun tetap memancarkan keanggunan tatkala dewasa. Tidak heran bila tanaman ini memiliki kesan mewah dan eksklusif. Dimasa lalu, anthurium banyak menjadi hiasan taman dan istana kerajaan-kerajaan di Jawa. Konon, dipuja sebagai tanaman para raja.
Secara umum anthurium dibedakan menjadi dua yaitu jenis anthurium daun dan jenis anthurium bunga. Anthurium daun memiliki daya pikat terutama dari bentuk-bentuk daunya yang istimewa. Sedangkan anthurium bunga lebih menonjolkan keragaman bunga baik hasil hibrid maupun spesies. Biasanya jenis anthurium bunga dijadikan untuk bunga potong.

Manfaat Anthurium

Selain segar dipandang dan menyehatkan ruang, anthurium konon juga bisa menjadi investasi.
Yang dinikmati dari tanaman hias tidak mesti bunganya tapi bisa juga daunnya, karena ada tanaman yang hanya berupa daun tanpa kembang. Daya tariknya terletak pada bentuk, warna, dan komposisi daunnya. Anda bisa melihatnya antara lain pada philodendron, aglonema, atau anthurium.
Setelah beberapa waktu lalu tergila-gila dengan aglonema yang memiliki paduan warna daun hijau-putih atau hijau-pink, kini orang beralih ke anthurium. Anthurium adalah tanaman hias dari Amerika Selatan yang iklimnya serupa dengan negara-negara di Asia Tenggara. Karena itu Thailand dan Indonesia gencar membudidayakannya.
Jenmanii
Anthurium tersohor sejak akhir 2006 karena daunnya yang besar dan kokoh dengan warna hijau. Ada anthurium hookeri dengan daun panjang dan lebar, anthurium gelombang cinta dengan daun banyak gelombang, anthurium keris dengan daun panjang-panjang dan bergelombang seperti keris, dan yang paling banyak dicari: anthurium jenmanii.
“Jenmanii banyak dicari karena walaupun satu jenis, struktur tulang daunnya berbeda-beda,” kata Des Dartiman, pemilik Daun-ku Nursery. Misalnya, anthurium jenmanii pagoda kol. Komposisi daunnya mirip pagoda, sedangkan strukturnya serupa kol. Ada pula anthurium jenmanii kobra dengan bentuk daun mirip ular kobra.
Selain kedua jenis itu, ada anthurium jenmanii sawi, jenmanii kol, jenmanii tanduk, jenmanii black, jenmanii oval, dan black beauty. Untuk mendapatkan anthurium jenmanii Anda bisa membeli benihnya seharga Rp225 ribu – Rp2,5 juta/butir tergantung jenisnya. Benih anthurium jenmanii kobra misalnya, dibanderol Rp800 ribu/butir. “Tapi, umumnya anthurium dijual sudah dalam bentuk tanaman berdaun,” ujarnya.
Segar sehat
Anthurium dengan daun yang sudah terbentuk struktur dan komposisinya umumnya berusia 1,5 tahun. Harganya bervariasi tergantung jenisnya. Anthurium hookeri tulang ikan misalnya, sekitar Rp2 juta/pot. Yang lebih murah anthurium wave of love(gelombang cinta), Rp800 ribu/pot. Ada juga anthurium yang dijual dengan hitungan per daun sekitar Rp2,5 juta, yaitu anthurium jenmanii variegata.
Kesan sejuk dan segar yang terpancar dari daunnya merupakan manfaat anthurium untuk mata. Tanaman ini juga menyehatkan ruangan karena menghasilkan oksigen dan menghirup karbondioksida. Anthurium dapat ditaruh di dalam dan di luar ruangan. Di luar ruang letakkan di teras namun jangan terkena matahari langsung.
Anthurium hanya bisa terkena 40 persen sinar matahari. Bila ingin menanam di halaman, tanam di bawah pohon rindang. Kalau ditaruh di pot, media tanamnya adalah kompos, unsur hara, dan pakis. Pakis akan membuat warna daunnya makin bagus. Tanaman cukup disiram sekali sehari. Kalau media tanamnya masih cukup basah, satu kali dua hari.
Investasi
Jangan biarkan air mengambang di media tanam atau terlalu basah, karena membuat batang dan akar anthurium membusuk. Anthurium yang ditaruh di dalam ruangan seminggu sekali harus disinari matahari. Yang paling baik sinar matahari pagi sampai kira-kira pukul sembilan. Daun yang sudah tua digunting di pangkal batangnya.
Budi daya anthurium dengan cara menuai benih dari tongkolnya dan menanamnya. Pertumbuhan anthurium lamban. Dari benih hingga berdaun dengan struktur sudah terbentuk butuh 9 bulan – 1,5 tahun.
Mahalnya harga anthurium tidak menghalangi orang menggilainya. “Soalnya, kalau sudah keluar tongkolnya, ibaratnya kita sudah punya ATM,” kata Des. Tongkol akan keluar setelah anthurium berusia di atas tiga tahun dengan panjang sekitar 25 cm. Setiap tongkol diprediksi mengandung 1.000 benih. Dengan harga minimal Rp50 ribu/biji, Anda sudah mendapat Rp50 juta. Jangan heran banyak penghobi memburu anthurium.
Beberapa bulan yang lalu, Rudi membeli jenmanii cobra remaja dengan harga Rp 3 juta. Sebagai penghobi pemula, Rudi mengaku masih bingung apa yang harus dilakukan dan apa yang tak harus ia lakukan. Dalam hal itu, metode perawatan yang diketahuinya sangat minim. Baginya, mungkin penyiraman dan pemupukan sudah cukup memanjakan anthuriumnya.
Namun beberapa minggu berselang, bukan keindahan yang ia dapatkan, justru kesuraman daun mulai terlihat. Daun yang semula hijau, lambat laun kian menguning dan keriting. Melihat kejadian itu, Rudi pun panik. Seakan tak tahu apa yang ia lakukan, intensitas penyiraman dan pemupukan pun malah ditambah, demi memenuhi kebutuhan nutrisi tanamannya itu.
Sialnya, bukan kesembuhan dan kesegaran yang ia dapat, beberapa bulan berselang, daun anthuriumnya mulai berubah kuning solid dan akhirnya berguguran. Rasa kecewa jelas terpancar di wajahnya. Pasalnya, bukan harga yang ia sesalkan, harapan agar tanamanya tumbuh besar dan sempurna tak bisa diraih. Jangankan tumbuh bagus, mencapai daun tujuh pun tanamannya tak mampu bertahan.
Masalah yang dihadapi Rudi itu mungkin pernah juga Anda alami. Terutama bagi Anda yang baru beberapa bulan menggandrungi si raja daun asal Brasil ini. Kurangnya pengetahuan tentang pola perawatan hingga intensitas penyiraman dan pemupukan, membuat harapan yang besar pada anthurium jadi sesuatu yang mengecewakan. Bahkan mahalnya harga, tak jarang membuat seseorang jadi paranoid terhadap perawatan.

STORY OF SUCCESS

Rahasia seorang Jutawan
Siapa yang tidak kenal anthurium gelombang cinta. Jenis ini dulu dilupakan setelah digeser jenmanii. Namun kali ini mulai merangkak lagi. Meskipun merupakan jenis lama, namun anthurium ini masih digandrungi di beberapa kota besar seperti Jogja, Solo dan Semarang.
Sentra tengah yang selalu membikin sensasi ini memang selalu memburu jenis anthurium yang prestisius, bukan lagi jenis umum atau normal.
Nah, trend ini dimanfaatkan oleh hobis dan kolektor untuk mengumpulkan jenis yang luar dari biasa. Sebut saja jenis variegata. Kalau umumnya jenis normal sudah biasa, maka jenis variegafa sudah seharusnya menjadi koleksi sejati.
Corak anthurium sendiri memiliki beberapa jenis yang umum ditemui. Beberapa warna seperti kuning, hijau, hijau muda dan hijau tua akan memberikan kesan antik dan unik. Uniknya lagi, pada warna daun muda, warnanya akan lebih mengkilap karena masih belum mengeluarkan warna tua.
Seperti layaknya warna daun Anthurium umumnya, warna daun muda lebih tua warna hijaunya dan memiliki lapisan lilin lebih banyak. Otomatis warna daunnya pun menjadi lebih mengkilap dibandingkan warna daun tua. Selain itu, warna variegatanya pun belum muncul seperti yang terjadi pada umumnya daun Anthurium yang mengalami variegata.

Pameran

Agus Sopian

Untuk mutu jurnalisme Indonesia yang lebih baik.

Hari Kembang

Anthurium mengakhiri kemelaratannya. Apa yang membuat daun itu begitu bernilai hingga dihargai ratusan juta, bahkan miliaran rupiah? Benda seni atau epidemi kelatahan belaka?
Oleh Agus Sopian
Tiada penanda yang mewakili Dusun Gebung dalam peta, bahkan peta lokal sekalipun. Tempat itu memang tak sekelas kawasan Menteng atau Blok M di Jakarta. Ia hanyalah sebuah daerah terpencil di kaki lereng timur Gunung Lawu, tepatnya di Desa Katikan, Kedungalar, Ngawi, Jawa Timur.
Seperti dusun-dusun lain di sekitarnya, Gebung hampir tak pernah jadi subyek perbincangan untuk topik apapun. Tapi itu dulu. Kini, seolah menyimpan deposit emas bongkahan, orang berduyun-duyun ke sana, meski harus menempuh satu-satunya rute tak nyaman — jalan desa sempit tak beraspal, penuh cekungan, dan sama sekali tak berlampu kala malam tiba. Mereka memang hendak mencari “emas yang lain”. Emas dalam bentuk lembaran daun. Anthurium.
Hariyanto, biasa disapa Hari, tiba-tiba saja jadi nama penting. Anthurium telah membebaskan dirinya dari kepompong kemiskinan. Ia kini warga terpandang di sana.Di rumahnya, di salah satu ujung jalan desa yang tak luas-luas amat, terparkir dua kendaraan roda empat miliknya untuk mobilitas sehari-hari. Sesekali beberapa truk sewaan menutup badan desa, tepat di depan sentra produksinya. Truk itu disewa untuk mengangkuti barang dagangannya ke berbagai daerah, terutama di Pulau Jawa. Dari Surabaya sampai Jakarta.
Sebagai orang kaya baru, ia tetap hidup sederhana. Paling tidak, Hari dan keluarganya masih tinggal di sebuah rumah yang hanya menelan lahan sekira 60 meter persegi — sebuah rumah sederhana yang kusam dan jauh dari kesan modis.Ia sebenarnya bisa tinggal di rumah baru, sebuah loji yang telah dia sulap jadi semacam wisma. Bangunan ini berdiri di atas areal lahan sekira 120 meter persegi. Seluruh dindingnya terbuat dari kayu, dengan tiga kamar yang terbilang luas. Alasnya dihampari keramik mengkilap ukuran besar, dan selalu tampak bersih.
Hari justru memfungsikan lojinya untuk menerima tetamu dari luar daerah. Mereka terkadang diinapkan di sana. Hanya ini cara yang paling ia ketahui untuk memuliakan tamu. Di situ, mereka bisa bercengkrama dengan sejumlah pegawainya, dari pagi, sore, malam, hingga pagi lagi.
Halamannya yang luas digunakan untuk area transit bagi Anthuriumnya yang hendak diberangkatkan ke luar daerah, entah untuk suatu pameran atau kiriman rutin ke pelanggannya. Bale-balenya yang nyaman, terbuat dari kayu jati pilihan, digunakan sekaligus sebagai gardu jaga para asistennya.
Di sekitar loji, Hari membeli banyak lahan warga sekitar untuk kebunnya, termasuk lahan kuburan sinyo Belanda. Ia merawat kuburan itu dengan baik, dan selalu membersihkannya kapan waktu. Hari tak pernah mengenali jatidiri yang ditanam di dalamnya.
Di luar lahan yang telah dipetak-petak menjadi delapan kebun anthurium itu, Hari juga membeli hektaran lahan produktif di kampung lain. Sebagian sudah disulap jadi tanah pertanian, sebagian lagi menunggu sentuhan. Total jenderal, dengan semua kekayaan yang dimilikinya, tak ada alasan bagi Hari untuk mencemaskan situasi kelabu di hari depannya.
***
Jauh sebelum mengenal anthurium, Hari dibesarkan oleh masa-masa yang getir sejak lahir pada 3 Maret 1969 silam. Ia pengais bungsu dari sembilan bersaudara. Mereka, si sulung Sagi, diikuti Sadinem, Sunarni, Kimin, Sukidi, Atiek Sugiyanti, dan Lilik Setyadi. Hari anak delapan, sebelum bungsu Setiyono.
Ayah mereka, Sotaruno, hanyalah pegawai rendahan tanpa upah uang. Ia seorang Uceng atau Jogotirto, pamong desa setingkat Ulu Ulu yang bertugas mengatur pengairan. Honornya tanah bengkok, yang sama sekali tak bisa menghidupi keluarga, bahkan dirinya sendiri. Maka, di waktu-waktu luang, ia memburuh tani pada sejumlah orang kaya, selain membuat tepung daun akasia. Tepung ini lazim digunakan sebagai bahan dasar obat nyamuk bakar.
Jerih payah Sotaruno tetap tak mampu menutup kebutuhan keluarga. Tak ada pilihan bagi Kinem, istrinya, selain harus terjun bebas ikut mencari nafkah di sela-sela pekerjaan rumah dan merawat anak-anaknya. Kinem bergabung dengan ibu-ibu lain yang juga sama-sama bernasib papa untuk memburuh pada lahan baon (perkebunan) milik Perhutani Ngawi. Si kecil Hari acap menemani sang ibu, di dalam dan di luar rumah.
Hari sering diberi tugas untuk belanja kebutuhan harian ke warung terdekat. Ia juga mencuci piring, mencari air, menunggui nyala tungku api, ikut memasak.
Itu dari sang ibu. Tugas dari ayah lebih merepotkan lagi. Sejak usia 10 tahun, ia biasa dibangunkan ayahnya dinihari, sekitar pukul 02.00 atau 03.00. Dalam gelap, ia membawa bakul berisi tepung daun Akasia ke tengkulak di daerah Posluku, Kedungalar, yang berjarak sekira tujuh kilometer dari rumahnya.
Pukul 06.00 ia kembali ke rumah, dan bersiap ke sekolah. Ia belajar di Sekolah Dasar (SD) Negeri Jogorogo, sekira 16 kilometer dari rumahnya. Pada tahun-tahun awal, perjalanan itu ditempuh Hari dengan berjalan tanpa alas kaki. Beberapa tahun kemudian ayahnya punya rejeki hingga bisa membeli sepeda ontel.
Sepeda itu pula yang menemani Hari ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMP) Jogorogo. Orang tuanya mulai bernafas agak lega saat Hari mendapatkan beasiswa Supersemar, salah satu model pembiayaan bagi murid tak mampu di zaman Orde Baru dulu. Beasiswa itu diperolehnya sejak kelas 1.
“Saya selalu mendapat rangking pertama,” kata Hari tentang prestasi belajarnya di SMP. Peringkat ini memberinya kehormatan untuk mewakili sekolahnya mengikuti berbagai ajang lomba kecerdasan siswa, termasuk “cerdas cermat”. Hari dan kelompoknya berkali-kali jadi juara. Tak hanya di level antarsekolah dalam lingkup desa atau kecamatan, tapi juga kabupaten untuk memperebutkan trofi juara tingkat provinsi.
Predikat bintang pelajar tak lantas membuat Hari jadi istimewa di keluarganya. Ia tetap wajib bangun dinihari dan mengulangi semua kegiatan yang dilakukannya sejak pertama kali akil baligh. Belakangan ia juga kebagian order untuk mencari daun-daun akasia ke Hutan Kalibening, yang berjarak sekira 15 kilometer dari rumahnya.
Jika stok daun dirasa cukup, Hari ikut mencangkuli lahan baon Perhutani itu.
Liburan akhir pekan digunakan Hari untuk mencari kayu bakar di hutan yang sama, tempat ia memetik daun akasia. Ia kumpulkan ranting-ranting pohon kering untuk disatuikatkan, kemudian dipikulnya dalam perjalanan belasan kilometer.
Irama rutin macam itu sama sekali tak menyisakan waktu bermain, selayaknya bocah lain di dusunnya — entah sekadar bermain sepakbola dengan jeruk bali yang telah digarang api atau berenang di kali. Malam-malam, dalam lelah, ia sering melamunkan rejeki dari langit. Lamunan yang terkadang membuat kelopak matanya sembab.
***
Hari lulus SMP pada 1986. Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri di pusat kota Ngawi jadi pilihan berikutnya. Seperti saat SMP, beasiswa menyokong pendidikan Hari di sana. Dan seperti sebelumnya pula, ia masih bersepeda ontel dengan jarak yang kian bertambah. Jika sebelumnya 16 kilometer, sekarang ia harus mengayuh sekira 25 kilometer.
Untuk menaklukan jarak sejauh itu, ia biasa pergi subuh dan pulang sore. Terkadang perutnya kosong seharian, dan baru malam ia bisa bertemu nasi Sawut, makanan yang terbuat dari campuran beras dan parutan singkong.
Di hari lain, saat ekonomi keluarga benar-benar berada di titik nadir, Hari dan saudara-saudaranya hanya menyantap nasi Karang atau Aking, nasi pemberian tetangga yang dikeringkan lalu diolah lagi. Thiwul pun jadi sahabat karib perut mereka. Thiwul berasal dari ketela pohon yang dikupas, dibelah, dijemur sampai kering, lalu jadi gaplek, direndam dalam air selama 24 jam, diangkat, dijemur lagi kemudian ditumbuk hingga jadi tepung. Thiwul dengan kata lain adalah tepung singkong kasar yang dimasak.
Tak mudah dipahami dengan asupan gizi macam itu, Hari masih mampu menyandang predikat bintang kelas hingga lulus SPG. Kelulusan yang tak membuatnya seratus persen bahagia. Bayangan menganggur menggedor syarafnya kala pemerintah mengumumkan kebijakan baru bagi calon guru SD, bersamaan dengan penutupan seluruh SPG pada 1988. Calon guru SD sekurang-kurangnya diharuskan menyandang sertifikat kelulusan Diploma Dua (D2). Hari tak pernah membayangkan asal-asul biaya untuk kuliah. Lulus SPG saja sudah jadi prestasi luar biasa baginya.
Niatnya yang tebal untuk jadi guru memberinya tambahan tenaga untuk nekat pergi ke Surabaya. Dengan uang seadanya hasil memburuh, Hari mendaftar ke Institut Keguruan dan Pendidikan (IKIP) Negeri, yang sekarang menjadi Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Saat diterima, dengan cepat otaknya berputar untuk mencari biaya hidup. Ia memutuskan jadi loper suratkabar Birawa.
Rejeki loper tak mencukupi hidupnya. Jika korannya tak laku, ia habis-habisan mengirit. Dan seringnya begitu.
Hari kembali putar otak. Ia menemukan jalan lain untuk mendapatkan uang. Kini ia memberi les pada anak-anak orang kaya. Total ia mendapatkan 15 titik lokasi les tingkat sekolah dasar.
Ia menggunakan semua penghasilannya secara bijak. Makan sehari sekali. Baju cukup beberapa lembar saja. Tempat tinggal? Ia mengajak teman-temannya untuk patungan sebuah kamar. Maka — bersama Katmono, Joko Santoso, Mali, Aris Wibowo, Puji Wuliyono dan Budi Winaryo — Hari menempati petakan kamar sekira 3 x 4 meter persegi. Ia, seperti teman-temannya, bantingan Rp15 ribu per kepala saban bulannya. Mereka rela tidur berdempetan seperti ikan pindang.
Gerutuan paling banter terdengar sesekali, terutama pagi. Mereka harus rebutan mandi karena suplai air berhenti tepat pukul 10.00. Alhasil, mereka yang kesiangan, kehilangan jatah air untuk mandi. Jika esoknya kembali telat bangun, apes bisa sambung-menyambung. Hari sendiri merdeka sepenuhnya dari urusan macam itu. Ia terbiasa bangun sebelum ayam berkokok. Pukul 04.00, ia sudah mandi dengan air berlimpah.
Sehabis shalat subuh, ia pergi ke pasar untuk belanja kebutuhan sehari-hari, utamanya makan. Ia memang kebagian jadi bendahara merangkap tukang belanja. Hari sering geli sendiri mengingat polahnya sebagai bendahara. Hampir setiap hari, ia mark up nilai belanjaan, dari Rp 300 menjadi Rp 400. Uang kelebihan ini ia simpan rapat-rapat. “Berani sumpah, bukan untuk keperluan pribadi,” katanya terkekeh-kekeh. Lalu?
Saban akhir pekan, Hari mengajak teman-temannya dolanan ke kota. Di sana, Hari mentraktir temannya makan minum, minimal semangkok baso, senilai Rp 100 per orang. Teman-temannya senang, walau sebelumnya tak pernah tahu bahwa uang itu adalah milik mereka sendiri hasil “korupsi mini” ala Hari.
***
Hari kembali ke Dusun Gebung pada 1992. Setahun kemudian, ia mendaftar jadi guru honorer di SD Negeri Kasiman di Bojonegoro dan diterima dengan upah Rp125 per bulan. Uang sebesar ini tak cukup untuk membiayai hidupnya, apalagi keluarganya. Sang ayah sudah mulai sakit-sakitan dan makin tua. Demikian juga sang ibu.
Tak ada jalan lain bagi Hari selain lagi-lagi membanting tulang. Beruntung koperasi di desanya mau memberi Hari pinjaman lunak. Dengan uang ini, ia mendapatkan sepeda motor kreditan. Motor inilah yang kelak memotori hidupnya.
Tiap pagi, sekira pukul 05.00, Hari keluar rumah dengan membawa bakul besar berisi jerigen ke pasar. Jerigen ditaruhnya di tengkulak oli dan bahan bakar minyak (BBM) untuk diisi. Ia melanjutkan perjalanannya menuju sekolah. Habis berganti baju dinas, ia masuk kelas.
Pulang sekolah, jerigen yang telah berisi oli dan BBM itu dijemputnya. Kedua mata dagangan ini, pada tingkat minimal, bisa menyangga perut keluarganya. Endemi defisit baru menyergapnya saat Hari memutuskan untuk menyunting sesosok bunga desa pada 1996. Perempuan nekat yang mau diajak melarat ini bernama Mariyani. Ia memberinya seorang anak perempuan, Maharratri Rany Phusphi Rumanti, pada 1997.
Sadar mulut yang harus disuapi Hari bertambah, ia melapis kekuatan ekonominya dengan menyewa sebidang tanah untuk dijadikan lahan pesawahan. Ia juga membuka toko kelontong kecil-kecilan yang menyediakan kebutuhan rumah tangga alakadarnya.
Dengan penghasilan dari berbagai jurusan itu, seharusnya Hari sudah mampu membiayai keluarganya. Garis nasib berkata lain. Sejak menikah, Hari keranjingan tanaman hias. Terkadang honornya sebagai guru ludes sama sekali untuk hobinya itu. Parahnya lagi, “nafkah psikologis” pun jarang Hari berikan pada istrinya. Saat malam tiba, Hari lebih memilih mencumbui tanamannya.
Pada titik ekstrem, kelakuan Hari bukan hanya menerbitkan bara api di lingkungan keluarga, tapi juga jadi topik pembicaraan sengit tetangganya. Hari dianggap kurang waras. Teman-temannya, yang meronda kampung, sering meneriakinya gila. “Istrimu keloni tuh,” ujar Aman Santoso, teman sepantarannya. “Saya memang hampir tak pernah ngeloni istri lagi,” Hari menimpali. “Bahkan saya hampir tak pernah tidur.”
Jangan harap siangnya Hari punya waktu untuk keluarga. Sehabis mengajar, Hari terkadang keluyuran mencari tanaman untuk tambahan koleksinya. Seringnya, ia nongkrong di Pasar Kasiman. Ia bersahabat Mbah Podo, seorang pria paro baya asal dari Tawangmangu.
“Ada yang baru Mbah,” Hari bertanya pada Si Mbah pada suatu siang, dalam bahasa Jawa halus.
“Ini saya bawa ‘Atrium’. Tapi mahal harganya.”
“Sekedap ya. Nanti saya carikan dulu uangnya,” Hari meminta waktu saat diberi tahu harganya Rp525 ribu untuk dua pohon ‘Atrium’ itu.
Sampai di rumah, tanaman yang sama sekali tak populer itu membayangi setiap langkahnya, seperti ia mengingat Mariyani di masa-masa pacaran. Ia berusaha mencari uang kesana-kemari, dan akhirnya kembali berakhir di koperasi di desanya. Ia dipinjami Rp 200 ribu. Setelah ditambahi uang honor dan simpanannya, Hari mendatangi Mbah Podo dan menanyakan tanaman itu.
Mbah Podo, menyanggupi niat Hari untuk membeli “Atrium”. Dari Tunas Jaya Sejati, sebuah nursery di Sragen, Mbah Podo mendatangkan pesanan Hari, yang belakangan ini dikenal sebagai “Anthurium” dan kini menjadi emas hijau bagi ribuan petani di Jawa Tengah.
Anthurium, berdasar sejumlah literatur, mengacu pada tanaman berdaun tebal, yang secara harfiah diartikan sebagai “tanaman bunga ekor pendek”. Nama Anthurium dibangun dari tiga suku kata dalam bahasa Yunani: anthos (bunga), aura (ekor) dan ion (ukuran kecil).
Bunga Anthurium di kalangan penggemarnya lazim disebut tongkol. Satu pohon Anthurium induk, yang telah berumur cukup tua, bisa menghasilkan empat atau lima tongkol. Satu tongkol, bisa berbuah 5.000 – 10 ribu biji.
Anthurium termasuk tanaman berstamina tinggi. Ia bisa tumbuh di mana saja, asal memiliki kelembaban yang cukup. Pohon Anthurium, sebagaimana di negeri asalnya — kawasan tropis Amerika Tengah dan Amerika Selatan — memerlukan kelembaban nisbi 60-90. Kelembaban ini, secara sempurna ditemukan di daerah sekitar lereng Gunung Lawu, mulai Karanganyar, Magetan, hingga Ngawi.
***
Tanaman hias koleksi Hari sudah besar-besar dan siap menghasilkan uang. Maka, pada 2000, ia mulai berbisnis tanaman. Bisnis ini memberinya julukan baru. Orang-orang di dusunnya, dari petani hingga tukang ojek, menyebut dia “Hari Kembang”.
Tak ada perubahan berarti. Tanaman itu tak memberinya kecukupan hidup. Anthurium yang sudah melahirkan ribuan benih dan jadi pohon-pohon remaja, sampai tahun 2002 hanya laku Rp10 ribu per pohon. Praktis, Hari tetap bersandar pada bisnis oli dan BBM, honor guru, juga kios kecil di depan rumahnya.
Sebagian di antaranya ia sisihkan untuk merajut mimpinya mendapatkan gelar master akademik. Ia mengikuti Strata Dua (S2) di Universitas Islam Malang, Jawa Timur, sekira 45 kilometer dari tempat tinggalnya.
Belum setahun setelah mendaftar S2, Hari merasakan adanya gejolak dalam bisnis Anthurium. Pemasukannya mulai bertambah. Bersamaan dengan tuntasnya S2 hingga Hari berhak atas gelar master dalam ilmu pendidikan, bisnis Anthurium bergolak. Jalan desa menuju dusunnya tiba-tiba lebih sibuk dari biasanya. Pembeli dari berbagai kelas sosial datang dengan beragam moda kendaraan, mulai ojek, mobil carteran hingga kendaraan pribadi dan dinas.
Penduduk di sekitar kediaman Hari terperangah. Dalam tempo cepat, wabah Anthurium menyebar ke seantero kampung, dusun, kecamatan dan seterusnya. Banyak orang sedusunnya membeli bibit dari Hari dan mulai mengadu peruntungan.
Gelombang pembeli itu direspon Hari dengan tangkas. Ia keluar dari Dusun Gebung untuk mencari spesies dan varian lain guna melengkapi koleksinya, sekaligus memperbanyak kultivar. Spesies Hokeri dan Jenmanii segera masuk kebunnya untuk dibiakkan. Jenmanii, dengan beragam variannya, adalah sumber kekayaan luar biasa bagi banyak petani. Satu induk bisa berharga puluhan hingga ratusan juta rupiah. Bahkan Yoe Kok Siong, pemilik Kaliurang Garden Center, di Yogyakarta, sempat membandrol varian Jenmanii Supernova hingga seharga Rp1 miliar.
Hari sendiri tak silau mata oleh itu. Ia tetap memainkan Gelombang Cinta, dan belakangan Hokeri. Pancaragam kultivar dan varian, ia hasilkan dari dua tanaman yang menjadi trade mark-nya selama ini. Dari Gelombang Cinta, ia melahirkan varian Jagger, Brassiliano, dan King. Dari Hokeri lebih banyak lagi. Beberapa di antaranya adalah Red Devise, Red Cobra, Dark Green, Pagoda, Silver Green, Supernova, Twister, Garuda Beauty, Lemon, Varigata, Green Cobra, Black Cobra, dan seterusnya.
Varian-varian tersebut mengokohkan namanya menjadi pemain besar dalam agrobisnis Anthurium. Itu pula yang membawa namanya menanjak, sekaligus jadi langganan juara sejumlah kontes tanaman hias, terutama di Jawa Timur.
Rejeki yang berlimpah tak membuat diri Hari lupa diri. Ia tetap fokus pada cita-citanya untuk mengejar Strata Tiga (S3). Ia mendaftar di Universitas Merdeka Malang, dengan mengambil ilmu sosial. Hendak pindah profesi dari guru? “Tidak. Saya tak akan menghianati guru,” kata Hari, sebagaimana ditirukan Wisnu Purbo, asisten Hari. Menurut Wisnu, Hari mungkin akan mencatatkan diri di Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai guru SD bergelar doktor.
Kegiatan kuliah Hari menyita banyak waktunya. Terkadang ia tiba di rumah menjelang larut malam. Namun, ia masih tetap dapat mengontrol seluruh aktivitas bisnisnya melalui telepon genggam. Ia tangkas menjawab pertanyaan pelanggan atau siapa saja, baik dengan melalui short message service (SMS) atau percakapan langsung. Lebih-lebih setelah nomornya ia taruh pada seluruh iklan display di berbagai media massa.
Menjelang tidur, ia menyempatkan diri untuk berdiskusi dengan orang-orangnya yang meronda di depan loji. Selebihnya, ia memantau seluruh kebunnya via CCTV (closed-circuit television) yang dipasang di depan rumahnya, menempati ruang kecil bekas kios oli. Perangkat ini memonitor sedikitnya 16 titik di kebun-kebunnya. Hari tak tahu berapa nilai perangkat itu. Ia mendapatkannya dari barter dengan Anthuriumnya.
Medio 2007, sebagai salah satu pemain besar, Hari makin kelimpahan uang. Pada Juli misalkan, ia pernah mendapatkan penghasilan puluhan juta per hari. Dan ini bukan klimaks. Momentum paling berkesan justru lahir sebulan kemudian. Pada 3 Agustus 2007, seorang pengusaha asal Semarang mendatangi rumahnya. Ia Cik Lin, seorang kolektor Anthurium terkemuka.
Cik Lin tertarik pada Anthurium Hokerii Supernova milik Hari. Tawar-menawar berlangsung. Mereka sepakat Rp265 juta. Cik Lin menyerahkan Panther Touring dan menghargainya Rp205 juta. Sisanya, 60 juta ia bayar tunai. Dengan tangan gemetar, Hari menerima satu kresek uang, yang telah diikat karet gelang satu per satu dengan rapi. Ia tak sanggup menghitungnya. Bola matanya berkaca-kaca. Semalaman ia menunaikan sujud syukur kepada Sang Khalik.
***
Humidity meter menunjukkan angka kelembaban 81, dengan suhu 24ºC. Akhir Maret 2008, langit di atas Ngawi terlihat cerah, angin berembus pelan mencumbui bibit-bibit Anthurium di halaman loji milik Hari. Semuanya tertata rapi. Sebagian masih berkumpul dalam kotak stirofom, sebagian lagi sudah diberi starter pot. Beberapa kultivar dan varian baru belum lagi diberi nama.
“Panjenengan mau sumbang nama?” Hari bertanya. Saya hanya menggelengkan kepala. Selebihnya, mengkritik nama “tembakau” untuk salah satu varian yang hendak diluncurkan di Surabaya. Saya memendam argumentasi kritik itu di dalam hati, bahwa seperti juga julukan untuk varian Jenmanii Sawi, Nangka, atau Kol Buntut, kosakata “tembakau” mengambil-alih entitas tanaman lain secara semena-mena, seolah-olah kita sedang berada di ambang krisis simbol bahasa.
“Mungkin bisa dicarikan nama lain,” kata saya, seraya terus mengamati tiap nama yang diterakan pada bibit-bibit Anthurium itu. Seluruh bibit sedang disiapkan untuk mengikuti sejumlah pameran. Tiga di Jakarta, satu di Surabaya. Hari memang punya gairah tinggi untuk terus mengikuti pameran. Dalam sebulan, Hari bisa mengikuti dua atau tiga pameran. Pada awal April 2008 saja, Hari mengirimkan tiga truk untuk tiga daerah di Jakarta: Depok, Cibubur dan Taman Mini.
Di ajang pameran, juga kontes tanaman hias, nama Hari berkibar bersama bendera perusahaannya, Maharani Garden.
Sampai sejauh ini, pendapatan Hari dari pameran termasuk yang tertinggi. Di Senayan Jakarta, misalkan, walau harus bersaing dengan sedikitnya 400 stand, Hari berhasil mengeruk pemasukan lebih dari Rp100 juta dalam sepuluh hari. Sebanyak Rp80 juta di antaranya uang tunai.
Menurut Wisnu Purbo, koordinator pameran Hari untuk Senayan, andai saja pihaknya mendapatkan lokasi stand yang strategis, pemasukan bisa digenjot lebih tinggi lagi. “Kami datang sedikit telat. Stand di baris depan sudah habis.” Maharani Garden akhirnya kebagian stand bernomor 300-an, dengan harga Rp4 juta. Masih untung, kata Wisnu lagi, stand bernomor buncit itu tak membuatnya jeblok. Alih-alih demikian, pemasukan Maharani Garden masih sanggup melampaui target.
Bukan perkara mudah untuk memperoleh omzet sebesar itu. Tren pasar memperlihatkan adanya gejala kelesuan dalam beberapa bulan terakhir ini. Saturasi dimulai sejak booming Anthurium mencapai klimaksnya di bulan Nopember 2007 lalu.
Di masa penuh gejolak, yang mulai berlangsung sejak Juli 2007, semua tampak indah. Bisnis Anthurium berkilau laksana berlian 24 karat. Orang dari berbagai kalangan masuk ke dalamnya. Adjie, pengusaha material bangunan di Salatiga, menaruh sekira Rp200 juta untuk pemburuan induk dan bibit berkualitas. Ginting Sri Kusmayadi, pengusaha furnitur di Solo, banting setir ke Anthurium. Bayan Tarso, pamong desa di Karanganyar, melupakan dulu bisnis kendaraannya sebagai makelar. Ia total terjun ke Anthurium dan dari sana ekonominya beranjak naik. Ia bahkan bisa mengupah sampai 100 orang untuk berbagai pekerjaan, mulai renovasi rumah hingga membangun fasilitas sentra produksi Anthurium.
Transaksi-traksasi heboh terdengar di sana-sini. Varian Gelombang Cinta Air Mata Bunda milik Rina Iriani, bupati Karanganyar, tembus sampai Rp500 juta lebih ketika berlangsung pameran Anthurium di Lapangan Banteng, Jakarta, pada 2007. “Itu setelah saya ganti namanya,” kata Iriani dalam suatu perbincangan di kediamannya, di Karanganyar. “Air Mata Bunda” mengacu pada Anthurium yang suka mengeluarkan air saban pagi atau sore. Bukan sesuatu yang ajaib, sebenarnya. Air yang keluar di lekukan pinggiran daun, sesungguhnya gejala biasa akibat banyaknya kandungan air. Dunia botani menyebut hal itu sebagai “gatusi”.
Iriani tak tertarik dengan nama itu. Ia memberikan nama baru untuk Anthurium yang memiliki gejala gatusi itu dengan nama baru: “Tirtowulung”. Nama baru yang memberinya hoki luar biasa.
Gejolak transaksi makin tak tertahankan. Demand tak lagi sebanding dengan supply. Pamor Anthurium menanjak hingga mencapai harga yang nyaris tak bisa diterima akal sehat. “Jenmanii Supernova bisa seharga Kijang Inova,” kata Rina Iriani dalam nada bercanda.
Tak hanya seharga Inova sesungguhnya, tapi bahkan Jaguar, BMW atau sebut mobil mewah lainnya. Santer tersiar kabar, di Desa Nglurah, Tawangmangu, pengusaha Wijaya asal Bali, membeli satu pohon varian Anthurium Jenmanii senilai Rp 1,4 miliar. Di Yogyakarta, pengusaha rokok Bambang merogoh Rp1,5 miliar untuk satu pohon varian yang hampir sama. Di Solo, kebun Ginting Sri Kusmadi, yang dikonsep hingga sekelas “galeri”, ditawar Rp4 miliar.
***
Magnet bisnis Anthurium terus melebar, dan menyedot pesona siapa saja. Di Lereng Gunung Lawu, Anthurium menjadi kendaraan bisnis banyak orang untuk menjelajahi impian terdalam mereka. Kandang-kandang domba atau kerbau belakangan berubah jadi kandang-kandang Anthurium. Tak sedikit orang menjual binatang peliharaannya demi mendapatkan induk bermutu untuk pembibitan.
Di Karanganyar saja, sedikitnya terdapat 1.200 petani yang ikut bermain. Data ini tereksplorasi dari catatan pemerintah setempat, yang membulatkan tekad untuk membina mereka secara intens. Ekstensifikasi ini memberi Karanganyar julukan baru: Kabupaten Anthurium.
Bupati Karanganyar Rina Iriani mengungkapkan, Anthurium telah mengubah nasib banyak petani di desanya. “Orang naik haji hampir seluruhnya dari jualan daun, ” kata Rina. “Daun” yang dia maksud merujuk pada pohon Anthurium.
Iriani juga memberi data lain untuk melukiskan kemajuan daerahnya dalam beberapa tahun ini. Menurut dia, terdapat beberapa indikator yang menunjukkan peningkatan ekonomi warga. Salah satunya peningkatan pendapatan per kapita. Jika tahun 2003 pendapatan itu Rp3 juta per kepala, pada 2007 naik menjadi Rp7 juta. Kepemilikan kendaraan bermotor pun menurut Rina, meningkat secara signifikan. Di Karanganyar sekarang, sedikitnya terdapat 1.900 roda empat atau naik sekitar 1.000 dalam tiga tahun terakhir.
Itu yang tercatat. Rina sendiri skeptis dengan jumlah itu. Dalam perkiraan dia, jumlah kepemilikan bisa lebih tinggi dari catatan resmi, mengingat dealer-dealer kendaraan bermotor di Jawa Timur belakangan jauh lebih mengunggulkan Karanganyar ketimbang Solo, yang semula dianggap garda bisnis terdepan kendaraan bermotor di selatan Jawa Tengah. “Di sini sudah biasa orang meninggalkan motor atau mobil untuk ditukar daun,” kata Rina lagi. Kendaraan-kendaraan begini belum lagi terdata secara keseluruhan.
Apapun, geliat agrobisnis Anthurium di Karanganyar dan sekitarnya bukannya tak mendatangkan resiko. Di banyak lereng Gunung Lawu, habitat pakis bisa dibilang berantakan. Orang menebang semau-maunya untuk dijadikan media Anthurium.
Pakis memang dapat dikatakan sebagai salah satu media paling porus untuk tanaman Anthurium. Porus adalah istilah para petani Anthurium untuk mengatakan terjaganya sistem drainase air serta sirkulasi udara di sekitar akar. Pakis dapat segera membuang air yang dituangkan ke dalam pot, sehingga ancaman busuk akar dapat terhindarkan.
Kecenderungan penggunaan pakis secara massif itulah yang antara lain diduga menjadi penyebab utama longsor di daerah Karanganyar. Episentrum bencana ini, yang berlangsung akhir 2007, berada di Dusun Mogol, Desa Ledoksari, Tawangmangu, Karanganyar, salah satu sentra produksi Anthurium. Puluhan Anthurium Jenmanii bernilai miliaran rupiah tertimbun longsor. Ratusan rumah terkubur, 37 orang tewas.
Hari sejak lama sadar, persediaan pakis lambat laun akan menipis dan habis sebelum peremajaan dimulai. Itu sebabnya, Hari memilih untuk menghindari media tersebut. Ia mengembangkan sendiri media Anthurium, yang kesemuanya berasal dari sampah pertanian.
Sampah itu didominasi oleh batang dan kulit kedelai, yang dicampur sekam. Sebagian sekam di antaranya dibakar dulu. Ke dalam adonan tersebut, Hari menambahkan tahi domba dalam presentase yang kecil. Seluruhnya diolah sedemikian rupa sehingga bisa menjadi media yang tak kalah porus dari pakis.
Pengolahan berlangsung secara manual. Untuk mendapatkan fermentasi yang cukup, Hari menimbun campuran tersebut selama beberapa hari, setelah sebelumnya diberi fungisida secukupnya. Di salah satu kebunnya, terdapat onggokan-onggokan bakal media tanam yang berasal dari beberapa truk material dasar.
Penolakan Hari terhadap media pakis memberi berkah tersendiri. Ia makin piawai mengolah media buatannya, dengan tingkat kesehatan prima pada seluruh tanamannya. Pertumbuhannya pun terbilang jauh lebih cepat, dan lebih dari itu medianya dapat didaur ulang dengan mudah. Hari tahu, media tersebut kelak akan memberi nilai ekonomis pada pendapatannya di hari depan.
***
Sebuah iklan terbaca di tabloid tanaman hias Hobiku edisi awal Mei 2008. Tertulis di sana, sebatang pohon induk anthurium varian Jenmanii Supernova dijual Rp375 juta. Awal Maret 2008, pohon yang sama — sekurang-kurangnya panjang daun berkisar 130 cm dengan kisaran usia antara 12-13 tahun — dibandrol seharga Rp525 juta.
Perjalanan harga itu segera memberi megafon terhadap rumor yang berkembang dalam tiga bulan terakhir ini, bahwa harga anthurium sedang mengalami penurunan dramatis. Indikator penurunan antara lain terlihat pula dari harga biji, yang galib disebut “OC”. Harga OC varian Jenmanii Supernova, yang gila-gilaan dalam kurun Juli – Nopember 2007 itu, misalkan, kini paling banter hanya sekira Rp50-70 ribu per biji.
Saturasi paling mengharukan diderita para petani anthurium spesies Gelombang Cinta (Wave of Love). Kini harga indukannya terjun bebas ke kisaran Rp30-40 juta. Sejumlah pedagang yang cemas malahan tak keberatan melepasnya di bawah harga tersebut hingga kisaran Rp10-15 juta. Dulu, setidaknya sekira enam bulan ke belakang, harga induk Gelombang Cinta bisa mencapai Rp200 – 300 juta.
Antiklimaks dimulai Desember 2007, yang sekaligus menandai berakhirnya pesta besar. Beberapa petani, sebagaimana dapat dilihat dalam berbagai media yang memantau seluk-beluk tanaman hias, ramai-ramai melelang barangnya.
Banyak yang mengatakan, bisnis Anthurium hingga sejauh ini cenderung berada di “pasar semu”. Dari analisa sementara, transaksi gila-gilaan di masa booming itu cenderung berkisar di antara pedagang, kolektor dan kolekdol. Istilah yang disebut terakhir mengacu pada mereka yang mengoleksi sebentar, lalu “didol” alias dijual lagi. Dunia seni biasa menyebutnya situasi “goreng-menggoreng”. Harga diolah sedemikian rupa hingga melahirkan sentimen pasar yang sensitif.
“Harus ada standarisasi,” kata Bona Ventura Sulistiyana, ketua Komunitas Anthurium Indonesia (KAI), dalam suatu rapat di Solo, Maret 2008. Rapat yang digelar malam hari ini, berlangsung di Flora Flori Garden, sentra produksi milik Ginting Sri Kusmayadi, anggota dewan pakar komunitas tadi.
Wacana untuk mengupayakan standarisasi harga bukan kali itu saja mereka bicarakan. Dalam berbagai kegiatan yang digelar KAI, wacana tadi terus dihembuskan. Apa boleh buat, imbauan KAI tenggelam di antara rimbunnya pohon-pohon Anthurium.
Bagi sebagian pedagang, standarisasi merupakan hal yang irrelevan dalam bisnis Anthurium. Lebih dari semata komoditas bisnis, Anthurium dinilai sebagai benda seni. Tak sedikit suara yang mendukung penilaian tersebut, sungguhpun sebagai benda seni, Anthurium sama sekali tak memiliki basis filsafat yang ajeg, genealogi, juga apa yang disebut Russell Ferguson sebagai “cultural politics of difference” — suatu sikap kreatif untuk menimbang secara kritis benda-benda atau pemikiran seni.
Di pihak lain, banyak pihak yang merasa tak harus mendengarkan suara KAI, yang notabene tak bisa merepresentasikan petani, pedagang pun penggemar Anthurium di Indonesia. Data sampai Mei 2008 memang memperlihatkan anggota KAI kebanyakan tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sangat sedikit yang berada di Bandung, Jakarta, apalagi wilayah lain di Pulau Jawa.
Bisa dipahami bila suara KAI di daerah-daerah yang disebut terakhir nyaris tak bergaung. Jadinya beragam kontes dan aktivitas bisnis Anthurium berpulang pada individu-individu. Dari sini saja, sangatlah masuk akal kalau imbauan standarisasi harga, hampir tak pernah menemukan muaranya.
Hari punya cara lain untuk mengatasi kerasnya bisnis ini. Ia lebih banyak mendidik konsumennya untuk mencintai tanaman ketimbang membius mereka dengan mimpi-mimpi untuk menjadi kaya dengan Anthurium. Misi ini memerlukan visi manajemen yang lebih cair, dengan mengasumsikan perusahaannya sebagai payung dari suatu kumpulan keluarga besar.
Hari menempatkan asisten, karyawan, pelanggan, atau malahan pembeli sambil lalu, sebagai stakeholder Maharani Garden. Mereka satu keluarga. Bisa dipahami jika Hari melepas bibit Hokerinya seharga Rp10 ribu kepada para pemula Anthurium. Ia bahkan rela diutangi. “Uang belakangan. Transfer aja,” ujar Parno, salah seorang asisten Hari, kepada salah seorang pembeli dalam suatu pameran di Jakarta, dalam nada ramah. Pembeli itu sama sekali bukan pelanggannya. Ia bahkan baru dikenal.
“Maharani itu bukan perusahaan. Hanya bakulan kembang,” demikian Hari mewanti-wanti karyawannya untuk tak kaku dalam proses negosiasi harga. Cara ini efektif. Pelanggan Hari terus bertambah dari hari ke hari. Pada saat yang sama, kecintaan Hari pada tanaman menular ke berbagai pihak yang sempat bersentuhan dengan dirinya. Yudi, sopir pribadi Hari, misalnya, merawat sdikitnya 400 bibit Anthurium. Belum ada bayangan apakah itu akan menjadi benteng ekonominya di masa depan atau tidak. Sementara ini ia hanya ingin merawat dan membesarkannya.
Di mata Hari, kecintaan pada tanaman perlu disebarluaskan. Sampai sejauh ini, menurut Hari, bisnisnya tumbuh besar lebih sebagai ekor kecintaannya — suatu kecintaan yang mendatangkan berkah. Itu sebabnya, Hari tak mencemaskan betul jika kelak bisnis Anthurium merosot ke titik paling parah hingga sama sekali tak bernilai bisnis.
“Saya akan terus mencintai tanaman,” katanya. Kecintaan ini pula agaknya yang mengerem nafsu Hari ketika orang menawari Rp100 juta untuk Anthurium Gelombang Cinta yang dia dapat dari Mbah Podo dulu. “Ini sejarah. Tidak dijual,” katanya sambil menunjuk dua batang pohon di salah satu pojokan kebunnya di belakang rumah. Kedua Anthurium tua itu menempati pot yang terbuat dari drum bekas, dengan cat yang sudah melepuh di sana-sini.
***
Jakarta, Mei 2008. Sebuah pameran berlangsung di Padepokan Silat di kawasan Taman Mini Indonesia Indah. Maharani Garden hadir di sana, menempati stand mahal tepat di pintu masuk. Sejak hari pertama, Wisnu dan Parno, yang mengoordinasikan pameran tadi, terlihat sibuk menata pajangan seraya menemani calon pembeli yang bertanya ini-itu. Mereka melayaninya dengan tekun dan sabar.
Ada yang tak biasa dalam pameran Maharani Garden kali ini. Mereka tak hanya memamerkan pohon-pohon Anthurium, dari bibitan sampai remaja. Mereka juga membawa sejumlah karung yang berisikan media tanaman. Media tersebut langsung didatangkan dari Ngawi, dan diberi label “Maharani Garden”. Dalam setiap kemasan tertulis, bahwa media tanaman ini cocok untuk hampir semua tanaman hias: mulai Philodendron, Aglaonema hingga Anthurium.
Sepekan sesudahnya, saya tak melihat lagi gunungan media tanaman tadi. Orang berebut membelinya. Pisau bisnis terbaru Hari mulai menikam.

3 Responses to “Budidaya Athurium FUlll”

Widya Okta mengatakan...

Halo, nama saya Widya Okta. dari Indonesia, saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman untuk sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman penipuan di sini di internet, namun mereka masih asli sekali di antara perusahaan pinjaman palsu.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya punya korban jatuhnya penipuan oleh beberapa perusahaan pinjaman online, karena saya membutuhkan pinjaman perusahaan yang jujur.

Saya hampir menyerah tidak sampai saya mencari sebuah nasihat dari seorang teman saya yang disebut saya pemberi pinjaman sangat handal Sandra Ovia Badan Kredit yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar USD 900 juta (Sembilan ratus juta INDONESIAH) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dengan tingkat bunga rendah dari 2%. Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa rekening bank saya dan menemukan bahwa nomor saya diterapkan langsung ditransfer ke rekening bank saya tanpa penundaan atau kekecewaan., Karena saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres .

Yakinlah dan yakin bahwa ini adalah asli karena saya memiliki semua bukti pengolahan pinjaman ini termasuk kartu id, Pinjaman dokumen perjanjian dan semua karya kertas. Saya percaya Ibu Sandra Ovia sepenuh hati karena dia telah benar-benar membantu kehidupan saya. Anda sangat beruntung memiliki kesempatan untuk membaca kesaksian ini hari ini. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan hubungi perusahaan melalui email: (sandraovialoanfirm@gmail.com)
Anda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (widyaokta750@gmail.com) jika Anda merasa sulit atau ingin prosedur untuk memperoleh pinjaman

Sekarang, semua yang saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi cicilan pinjaman bulanan yang saya kirim langsung ke rekening bulanan perusahaan seperti yang diarahkan.

Lady Mia mengatakan...

KABAR BAIK!!!

Nama saya Mia.S. Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya telah scammed oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai seorang teman saya merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 JUTA) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dengan tingkat bunga hanya 2%.

Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah saya diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening saya tanpa penundaan. Karena aku berjanji padanya bahwa aku akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman dalam bentuk apapun, silahkan hubungi dia melalui emailnya: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com

Anda juga dapat menghubungi saya di email saya ladymia383@gmail.com dan miss Sety yang saya diperkenalkan dan diberitahu tentang Ibu Cynthia dia juga mendapat pinjaman dari Ibu Cynthia baru Anda juga dapat menghubungi dia melalui email nya: arissetymin@gmail.com Sekarang, semua yang saya lakukan adalah mencoba untuk bertemu dengan pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening bulanan.

Lady Mia mengatakan...

KABAR BAIK!!!

Nama saya Aris. Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya telah penipuan oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 Juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dengan tingkat bunga hanya 2%.

Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening saya tanpa penundaan. Karena saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah dia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda mematuhi perintahnya.

Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan kehilangan Sety saya diperkenalkan dan diberitahu tentang Ibu Cynthia Dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua yang akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya yang saya kirim langsung ke rekening bulanan.

Leave a Reply