Menjadi pengusaha properti menjanjikan keuntungan besar dengan pengembalian modal yang relatif cepat. Kebutuhan yang tinggi akan properti melahirkan pengusaha-pengusaha properti kelas mini yang mencoba mengail untung.
Berbisnis pengembang properti (developer) menjanjikan keuntungan yang menggiurkan, antara 25% hingga 35%. Modal yang harus dibenamkan memang besar, tapi bila strategi Anda tepat, modal Rp 6 miliar bisa kembali dalam waktu 2 tahun saja.
Karena itu, jangan keheranan kalau Anda mendengar kisah Cokro Anton Wibowo, pengembang asal Palembang yang hanya dalam tempo tiga tahun, bisa membangun perumahan di enam lokasi dan proyek pertokoan di empat lokasi. Meski tanpa mengantongi pengalaman sebagai developer, Cokro yang mulai mengibarkan bendera bisnis lewat CV Bintang Bangun Persada pada tahun 2009 lalu ini bisa menghasilkan omzet Rp 27 miliar dengan laba Rp 8,1 miliar, akhir tahun lalu.
Keyakinan bahwa bisnis pengembang perumahan bisa mendatangkan untung maksimal juga menjadi bekal PT Bahana (Bahana) Paramarta dalam mempromosikan waralaba developer yang mereka usung. “Potensi bisnis properti masih terbuka lebar karena kebutuhan rumah masih sangat tinggi,” kata Bambang Subagio, Direktur Utama Bahana.
Kini Bahana baru menggandeng empat mitra. Keempat mitra itu antara lain membuka lokasi perumahan di Depok, Tangerang, dan Bekasi. Tahun ini Bahana memasang target menambah dua mitra. Bambang bilang, potensi berbisnis properti di luas lahan 1 hektare (ha) hingga 3 ha cukup besar. “Lahan ini tidak akan diambil oleh developer besar, jadi pengembang kecil bisa masuk ke area ini,” katanya.
Bambang bilang, meski terbilang sebagai developer kecil, namun pengerjaan proyek maupun manajemen bisnis dilakukan bak developer besar. “Dengan pengembangan usaha secara waralaba merek Bahana semakin besar,” katanya.
Anda penasaran ingin mengikuti jejak bisnis Ciputra? Ya, siapa tahu jatah rezeki Anda di bisnis ini tak kalah dari begawan properti itu. Yuk, kita kenal lebih dalam seluk beluk bisnis pengembang ini.
Faktor pengalaman
Mungkin Anda berpikir bahwa menjadi seorang developer harus memiliki pengalaman yang memadai. Boleh jadi anggapan itu benar, tapi ternyata bisnis ini tak tertutup bagi masyarakat yang benar-benar masih awam soal ini.
Paling tidak itulah anggapan Cokro, berkaca pada pengalaman dia sendiri selama ini. Menjadi seorang developer tidak harus memiliki latar belakang pendidikan di bidang arsitek atau teknik sipil. “Orang awam pun bisa, asalkan mau belajar dengan sungguh-sungguh,” kata dia. Namun, bila Anda seorang awam, Cokro menyarankan Anda berkenalan dengan seorang developer agar bisa menggali ilmu dan informasi mengenai usaha properti ini.
Semua kompetensi yang dibutuhkan dalam bisnis ini bisa diperoleh dengan perekrutan tenaga kerja. “Yang pokok adalah tenaga-tenaga di bidang teknik sipil, arsitek, legalitas, dan pemasaran,” ujarnya. Sebagai langkah awal, cukup merekrut lima karyawan. Namun, dia mengingatkan, orang awam setidaknya membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk mempersiapkan usaha ini.
Salah satu kendala utama bisnis ini adalah pengadaan lahan. “Lahan awal yang cukup sulit untuk dicari,” katanya. Namun, begitu Anda berhasil membangun proyek pertama, cerita akan berbalik arah: justru banyak orang yang datang menawarkan lahan mereka.
Ketika urusan legalitas, modal, dan rencana bisnis sudah matang langkah selanjutnya mencari bank sebagai rekanan. Langkah ini bertujuan memudahkan calon pembeli yang ingin melakukan pembelian rumah secara kredit.
Nah, segala macam kerepotan persiapan itu bisa dipintas kalau Anda bergabung di bawah payung perusahaan developer yang membuka kemitraan atau waralaba. Saat ini cukup banyak pengembang yang mencari mitra, salah satunya Bahana Paramarta.
Jika Anda bergabung dengan jaringan kemitraan sebuah developer, persiapan Anda tak sekeras membangun perusahaan sendirian. “Dari sisi tenaga kerja, strategi promosi, pemasaran, hingga pembangunan proyek kami yang menangani,” kata Bambang. Seluruh tenaga kerja juga akan dilatih dan diseleksi oleh Bahana.
Menurut Bambang, menjalankan usaha properti tidak mudah. Sebab, usaha ini memerlukan banyak disiplin ilmu. Antara lain mengenai legalitas, ilmu tentang properti, keahlian mencari lahan yang sesuai dengan market, keahlian di bidang penjualan maupun penjualan kembali. “Saya kira kalau orang awam memulai usaha ini sendiri akan terlalu sulit. Sebab untuk merekrut tenaga kerja yang tepat tidaklah mudah,” katanya.
Sebaliknya bila bergabung dengan waralaba, mitra tidak akan dipusingkan dengan hal-hal seperti itu. “Orang awam yang ingin menjadi developer di Bahana hanya membutuhkan waktu sekitar 6 bulan untuk persiapan hingga launching bisnis,” jelas Bambang, penuh nada promosi.
Promosi gencar
Persaingan bisnis di kalangan developer kecil memang cukup ketat. Kunci kesuksesan bisnis ini tidak berhenti ketika lahan sudah ketemu atau, bahkan, saat proyek sudah berjalan. Tak kurang kisah tentang kompleks perumahan kecil yang tak kunjung laku, meski seluruh rumah sudah berdiri. “Untuk merebut hati konsumen memang butuh kerja ekstra,” kata Cokro.
Tak heran bila biaya untuk promosi awal sangat besar. Cokro mengingatkan, sebagai developer mandiri yang memulai usaha dengan bendera yang masih baru, dia membutuhkan kerja keras dalam berpromosi. “Rajin pasang iklan di media massa yang segmennya sesuai dengan tipe rumah yang kita tawarkan menjadi prestise sendiri bagi bendera usaha,” katanya. Ajang pameran di pusat perbelanjaan atau keramaian juga harus dilakukan untuk mengenalkan merek usaha dan properti yang ditawarkan.
Nah, lagi-lagi, Bambang berusaha menunjukkan kemudahan menjadi mitra waralaba developer dalam soal promosi. “Merek sudah kuat sehingga calon konsumen percaya dengan properti yang kita tawarkan,” ujarnya. Meski begitu Mitra juga akan dibantu mempromosikan brand secara nasional sehingga merek semakin kuat. Promosi-promosi itu harus dilakukan secara berkesinambungan, jadi tak heran bila biaya promosi ini sangat besar.
Baiklah, agar pemahaman yang lebih jelas Anda peroleh, mari kita kaji lebih dalam.
Mitra Bahana Paramarta
Para calon mitra Bahana harus menyediakan lahan sendiri. Luas lahan, minimal 2 hektare (ha). Mitra boleh berburu lahan sendiri, boleh juga berkonsultasi dengan Bahana. Untuk membeli lahan dan mengembangkan bangunan di atasnya, Bambang berujar bahwa dibutuhkan modal sedikitnya Rp 6 miliar.
Setelah lahan pasti ada, baru mitra menyetor modal kemitraan. Bahana menawarkan tiga paket investasi pada calon mitra. Pertama, dengan setoran investasi Rp 750 juta dengan franchise fee Rp 250 juta. Kedua, paket Rp 1,5 miliar dengan franchise fee Rp 350 juta. Ketiga, paket Rp 2 miliar dengan franchise fee Rp 500 juta. “Pay-back period mulai 2 tahun hingga 3 tahun,” kata Bambang.
Sebagai contoh, jika mitra membeli paket kedua, modal kemitraan dipakai untuk membuka kantor dan gerai, membeli mobil operasional, biaya pemasaran dan promosi awal, perizinan dan legalitas, pembuatan jalan dan saluran, rumah contoh, pagar tembok kluster, pintu gerbang, taman, papan nama dan billboard perumahan, serta operasional kantor selama lima bulan. “Modal masuk ke rekening mitra, digunakan bertahap,” jelas Bambang. Uang yang masuk ke Bahana Rp 350 juta untuk keperluan franchise fee selama lima tahun.
Di lahan seluas 2 ha, Anda bisa membangun kurang lebih 150 unit rumah. “Dengan harga Rp 210 juta per unit, dalam dua tahun penjualan rumah mencapai Rp 31,5 miliar,” kata Bambang.
Bahana memungut royalty fee 5% dari omzet. Selain itu ada marketing fee 2%. Bambang bilang total pengeluaran selama 2 tahun mencapai sekitar Rp 17 miliar. “Dengan asumsi itu, payback period kurang dari 2 tahun,” ujar Bambang.
Developer mandiri
Cokro bilang untuk memulai usaha ini Anda harus mempersiapkan antara lain lahan, perencanaan bisnis, dan tenaga kerja. Sementara modal awal yang dibutuhkan mulai Rp 500 juta–Rp 1 miliar. Modal digunakan untuk membangun kantor, rumah contoh, jalan dan taman, promosi, serta mengurus legalitas pertanahan. Sebagai pemula lahan yang dipersiapkan paling tidak 1 ha. Untuk membeli tanah seluas itu dana yang dibutuhkan Rp 2 miliar–Rp 3 miliar. “Tergantung dari lokasinya, cari yang masih sekitar Rp 300.000 per m² tetapi lokasinya bagus dan strategis,” ujarnya.
Di atas lahan seluas 1 ha bisa dibangun sekitar 60–70 unit rumah tipe 40 m². Cokro memberi gambaran, di Palembang dengan ukuran tersebut rata-rata harga yang dikenakan mulai Rp 180 juta hingga Rp 250 juta per unit. “Rata-rata dengan kisaran harga tersebut masih sangat terjangkau oleh konsumen. Jadi tidak terlalu repot menjualnya,” jelasnya. Cokro bilang, dengan asumsi penjualan 60 unit dengan harga Rp 200 juta maka omzet yang diperoleh bisa mencapai Rp 12 miliar.
Asalkan lokasi strategis dan harga terjangkau, dalam waktu setahun semua unit rumah bisa laku terjual. Strategis yang dia maksud adalah jarak rumah dengan jalan raya utama tidak terlalu jauh, akses jalan tidak rusak, dan dekat dengan fasilitas umum seperti pasar, sekolah, dan pusat kesehatan.
Dengan menjadi developer secara mandiri, Anda terbebas dari franchise fee, marketing fee, dan royalty fee. Dengan omzet Rp 12 miliar, pengeluaran selama setahun Rp 6,96 miliar. Biaya itu untuk belanja bahan bangunan dan tukang, pembanguna fasilitas umum dan sosial, pengurusan izin, membayar gaji karyawan, promosi, dan operasional lain.
Anda tertarik yang mana?
No response to “Peluang besar menjadi pengembang kecil-kecilan”
Leave a Reply