Senin, 18 Februari 2013

Mmodal Rp 250.000, telah berkembang


PENGUSAHA kerajinan jarang tergusur oleh industri modern. Soalnya, pekerjaan tangan tidak bisa digantikan mesin, bahkan mesin yang canggih sekali pun.
Berkah itulah yang sekarang dinikmati Martini. Ibu seorang putri ini sudah sembilan tahun berbisnis kerajinan. Ia membuat beragam barang anyaman dan mengekspor produknya ke Eropa dan Amerika.

Kini, perusahaan bernama Martini Natural, yang ia dirikan dengan modal Rp 250.000, telah berkembang menjadi besar.

Setidaknya, Martini mempekerjakan 70 karyawan di rumahnya sendiri. Selain itu, ia merekrut 600 pekerja di Bantul dan Kulonprogo. Dari merekalah Martini mendapatkan pasokan anyaman. “Tenaga kerjanya tersebar di DIY, Klaten, dan Solo, Kutoarjo, Purworejo, dan Magelang,” kata Hari Santosa, Direktur PT Sarana Yogya Ventura (SYV), anak perusahaan PT Bahana Artha Ventura, pemberi kredit untuk Martini.

Kebanyakan pekerja yang terlibat dalam usaha Martini adalah perempuan. Di antaranya banyak pula yang berusia lanjut (lansia). Menurut Martini, ada beberapa jenis produk yang memang bisa dikerjakan oleh lansia. “Daripada mereka enggak ada pekerjaan, saya beri nenek-nenek itu kegiatan seperti ini,” ujar wanita 36 tahun ini.

Kisah bisnis Martini cukup unik. Dunia anyam-menganyam sebenarnya bukan hal baru bagi anak ketiga dari empat bersaudara ini. Sejak masih SD, Martini sudah kerap menganyam, untuk tugas sekolah. Namun, begitu berangkat dewasa, Martini mengaku tidak pernah terpikir untuk memakai keahlian tersebut. Bahkan, ia bekerja sebagai pembantu rumahtangga. Menuruti mata pencahariannya itu, Martini sempat berkelana ke Padang dan Lampung.

Sehabis menikah, Martini memutuskan untuk pulang kampung. “Setelah menikah, saya bekerja pada orang lain untuk membuat anyaman,” ujar istri Nurhadi ini. Tak lama kemudian, perusahaan tempatnya bekerja tersebut tutup. Maka, Martini memberanikan diri untuk menjajal bisnis kerajinan miliknya sendiri.

Mulai 1 Maret 1999, di Kulon-progo, Yogyakarta, Martini membuat anyaman dari eceng gondok. Perempuan yang juga pernah berdagang sayur di pasar tradisional ini menguras tabungan untuk modal.

Tanpa ragu, Martini menyerahkan produk anyaman, seperti tas dan karpet bikinannya, kepada pedagang kerajinan. Ia menggenjot sepeda tua peninggalan orangtuanya, sejauh sekitar 40 kilometer, demi mengantarkan dagangan. “Pesanan itu diantar minimal dua hari sekali,” sambung Martini.

Ternyata, kerajinan bikinan Martini disukai. Permintaan dari pedagang makin banyak. “Modal Rp 250.000 itu terus berputar,” kenang Martini. Lama-lama, ia kewalahan memenuhi permintaan. Ia mulai merekrut saudara dan tetangga sekitar untuk menganyam. Adapun ia sendiri mengerjakan desain dan sampel produknya.

Berkat kegigihannya memenuhi tenggat waktu, order buat Martini pun meningkat. Nilainya mencapai ratusan juta rupiah. Padahal, Martini tidak punya sumber tambahan untuk modal. Alhasil, kalau terlalu banyak order, ia melemparnya ke pengusaha lain.

Bisnis Martini berkembang pesat tahun 2003, setelah ia ikut pameran. Ia mendirikan agen di Jakarta dan memasok beberapa toko di Bali. Masa kejayaan bisnis Martini sudah berasa sejak tahun 2005.

Malang tak dapat ditolak. Tahun 2006, Yogyakarta diguncang gempa, demikian pula dengan Martini Natural. Rumah produksinya di Bantul luluh lantak, sehingga tidak dapat beroperasi. Ia terpaksa membatalkan beberapa pesanan akibat beragam masalah. Pembayaran dari para pembeli pun seret. “Ada pelanggan yang berutang sampai Rp 400 juta,” kata dia. Bisa diduga, aliran kas bisnis Martini terganggu.

Kendati demikian, Martini tidak menyerah. Kali ini ia mencoba mendapatkan pinjaman dari bank. Bermodal tanah 3.000 meter, dia mengajukan kredit. “Tapi, saya hanya mendapat pinjaman Rp 70 juta, sementara modal yang saya perlukan Rp 600 juta,” ujar dia.

Martini pun jalan terus. Sampai suatu kali ia ikut pendidikan kerajinan di Jawa Timur. Rekan-rekan sesama pendidikan tersebut menganjurkan agar Martini menghubungi Bahana Artha Ventura. Alhasil, setelah kembali ke Jogja, ia pun menghubungi Sarana Yogya Ventura.

Pucuk dicita ulam tiba. Sarana Yogya mengambil alih kredit Martini di bank. Mereka juga memberikan suntikan kredit Rp 50 juta. Martini menggunakan seluruh modal tersebut untuk mengerjakan order yang ada. “Order selesai, kemudian usaha saya stabil lagi secara bertahap,” tutur dia.

Dari Sarana Yogya, Martini tidak hanya mendapatkan bantuan dana. Ia juga memperoleh konsultasi usaha gratis, di antaranya bimbingan untuk bertransaksi dengan pihak ketiga dan keterampilan menggunakan internet. “Kebutuhan usaha saya selalu direspons,” kata Martini yang pernah mendapatkan penghargaan UKM Terbaik III dari Dji Sam Soe Award ini.

Belakangan, batas geografis wilayah Yogyakarta ternyata tidak bisa membendung anyaman Martini. Hasil kerajinannya dibawa agen untuk diekspor. “Sejumlah 95 persen pasar Martini Natural adalah untuk ekspor, misalnya ke Prancis dan Italia,” ujar Hari. Untuk pasar lokal, Martini mendirikan gerai di Magelang dan Jakarta.

Merangkak dari PRT dan pedagang sayur

BISA DIDUGA, Martini tidak pernah menduga akan menjadi wanita pengusaha yang sukses seperti sekarang. Maklum saja, orangtua Martini dulu bercita-cita agar anaknya ini menjadi guru. Maka, mereka memasukkan Martini ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG).

Sayang, karena tidak mampu, sekolah Martini terpaksa putus di jalan. “Maklum, waktu itu keluarga kami ada keterbatasan ekonomi,” ujar dia.

Keterbatasan ekonomi keluarga selanjutnya justru menempa Martini menjadi pribadi yang sekarang. Pelan-pelan, Martini menjadi sosok yang memiliki keteguhan dan kesabaran dalam hidup. Ia pun rela menjalani hidup prihatin sebagai pembantu rumahtangga dan pedagang sayur, kendati sempat mengenyam bangku sekolah yang lumayan tinggi.

Kini, bisa dibilang hidup Martini sudah berkecukupan. Nurhadi, suaminya yang dulu sering bekerja di proyek pembangunan, belakangan ikut terlibat mengelola Martini Natural. “Suami saya itu bekerja apa saja bisa,” kata Martini merendah.

Jelas, tidak seperti keluarganya dulu, Martini tidak merasa kesulitan menyekolahkan putri semata wayangnya. Sekarang, putrinya itu kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. (Asnil Bambani Amri/Kontan)

No response to “Mmodal Rp 250.000, telah berkembang”

Leave a Reply