Pengalaman menjadi pemasar perusahaan eksportir kopi membuat Sadarsah paham betul bagaimana cara jualan kopi dan jenis kopi apa yang laku di pasar. Nah, ketika seluruh dunia lagi paceklik kopi pada 2006, Sadarsah pun pindah kerja dengan menjadi eksportir kopi. Usaha ini berjalan mulus dengan omzet miliaran rupiah setiap bulan.
Kopi asal Indonesia sudah terkenal di seluruh penjuru dunia. Sebut saja kopi arabica ataupun kopi robusta yang banyak diburu pecinta kopi. Kemudian ada kopi luwak yang disebut-sebut sebagai kopi terenak dan termahal di dunia.
Lantas ada juga kopi gayo di Aceh. Kopi ini di luar negeri juga terkenalnya seperti halnya kopi luwak. Kopi gayo ini adalah jenis kopi arabika yang dikembangkan secara organik oleh pekebun kopi di dataran tinggi Gayo di Sumatra Utara. Karena itu, kopi ini menjadi salah satu kopi favorit di dunia.
Sebagai kopi favorit tentu permintaan kopi ini juga tinggi, baik di pasar dalam negeri maupun pasar ekspor. Nah, peluang ini menjadi eksportir kopi gayo inilah yang dimainkan dengan baik oleh Sadarsah.
Pria kelahiran Medan 19 November 1974 ini melalui CV Arvis Sanada, perusahaan yang ia dirikan pada 2006, mengekspor kopi gayo ke Amerika Serikat, Inggris, Kuwait, Taiwan, Korea, Australia, Jepang, dan Laos. Saban bulan ia mengirim 15 kontainer kopi gayo ke berbagai negara itu dengan omzet minimal Rp 8 miliar.
Sadarsah mulai mengenal bisnis kopi ketika lulus kuliah pada 2001. Ketika itu dia masih menjadi tenaga pemasar di lima perusahaan eksportir kopi di Medan, Sumatra Utara. Setelah hampir lima tahun bekerja, alumnus Teknik Elektro Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara (UMSU) ini mulai memilih jalan untuk berwiraswasta. "Dengan memiliki usaha sendiri saya bisa lebih bebas berinovasi dan mengembangkan ide-ide," pungkasnya.
Pada 2006, dengan modal pinjaman dari seorang teman, Sadarsah mendirikan Arvis Sanada di Medan. Dia perlu membuat badan usaha karena melihat peluang besar dalam bisnis ekspor kopi. Apalagi ketika itu dunia lagi paceklik kopi.
Saat itu, nyaris seluruh perusahaan kopi di dunia kolaps lantaran pasokan kopi berkurang 50 persen . Situasi sulit inilah yang dibaca Sadarsah sebaliknya. Bagi dia kekurangan pasokan itu harus dia isi. Apalagi dia tahu ada produksi kopi yang melimpah ruah di Tanah Gayo. Selain itu, dia sudah paham betul seluk-beluk ekspor kopi.
Ekspor perdana yang cuma satu kontainer itu ternyata menjadi pembuka pintu gerbang bagi Sadarsah untuk memasuki perdagangan kopi dunia. “Di masa itu, langsung banyak permintaan kopi. Rata-rata, penikmat kopi dari luar negeri menginginkan kopi organik,” kata anak dari pasangan Mude dan Ratih ini.
Sadar dengan peluang besar itu, Sadarsah pun berupaya untuk mendapatkan sertifikat kopi organik dari lembaga sertifikasi Control Union di Belanda. Sertifikat ini diperolehnya pada akhir tahun 2006.
Dengan modal tambahan berupa sertifikat itu, ekspor kopi Sadarsah pun makin lancar. Hingga kini, Sadarsah mengekspor dua jenis kopi, yakni kopi gayo dan kopi konvensional. Untuk kopi Gayo, ia jual dengan merek Sumatera Arabica Gayo dan merek Sumatera Arabica Mandailing untuk kopi konvensional.
Dengan mengusung slogan "Quality, Trust, and Excellence," pertumbuhan bisnis Sadarsah melesat bak meteor. Kalau pada 2006, omzet dia hanya Rp 600 juta per bulan dengan kemampuan ekspor kopi hanya satu kontainer. Tahun berikutnya omzet sudah melonjak drastis hingga Rp 1,5 miliar per bulan.
Pada 2008, omzetnya naik lagi menjadi Rp 3 miliar per bulan, dan pada tahun lalu, Sadarsah sudah berhasil ekspor 14 kontainer per bulan mencapai omzet sebesar Rp 7,6 miliar.
Jika pada 2006 lalu Sadarsah hanya mampu mempekerjakan 15 karyawan, saat ini jumlah karyawan Arvis Sanada sudah sebanyak 100 orang. "Sejak 2006 hingga 2011 ini harga kopi antara Rp 30.000 hingga Rp 35.000 per kilo," terang Sadarsah.
Digugat pengusaha Belanda
Sadarsah yakin usahanya akan terus berkembang karena potensi kopi gayo dan kopi lainnya masih sangat besar. Menurut Sadarsah hasil perkebunan kopi di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues, masih cukup untuk menjawab kebutuhan kopi dunia. Ketiga daerah yang berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (dpl) tersebut memiliki perkebunan kopi seluas 94.800 hektare.
Keberhasilan Sadarsah, pemilik CV Arvis Sanada, mengekspor kopi gayo ke berbagai negara memang tak semudah membalik telapak tangan. Berbagai rintangan harus ia lewati agar bisa menjajakan kopi tanah Andalas ke mancanegara.
Salah satu masalah terberat yang pernah dihadapi Sadarsah adalah keberatan atas merek gayo yang dilayangkan perusahaan kopi asal Belanda, Holland Coffee, pada 2008 silam. Perusahaan itu mengklaim, Sadarsah telah menjiplak merek kopi produksi mereka.
Holland Coffee secara terang-terangan melarang Sadarsah menggunakan kata gayo pada merek kopinya, Arabica Sumatera Gayo. Apalagi kopi milik Sadarsah itu juga beredar luas di Negeri Belanda.
Perusahaan itu menyatakan, merek gayo pada kopi mereka itu sudah terdaftar dalam undang-undang merek di Belanda. Karena itu, penggunaan kata gayo oleh Sadarsah dinilai melanggar aturan merek di Belanda.
Tapi protes dari Holland Coffee itu sama sekali tidak digubris Sadarsah meski dia diancam bakal diseret ke pengadilan karena mencuri merek gayo milik Holland Coffee. Namun ancaman itu tak membuat Sadarsah menyerah dengan menghilangkan kata gayo.
Perusahaan Belanda itu sempat patah arang melihat semangat Sadarsah mempertahankan merek gayo. Mereka pun melunak tak akan lagi menuntut Sadarsah asal mengganti merek gayo dengan mandailing. Tapi Sadarsah tetap menolak permintaan itu.
Ia bilang, kata mandailing dan gayo adalah nama daerah di Sumatra. Jika kopi berasal dari Mandailing, kopi itu disebut dengan kopi mandailing. "Kalau kopi itu dari Tanah Gayo disebut kopi gayo," terang Sadarsah.
Ia mengaku tetap akan mempertahankan kata gayo pada kopi yang ia produksi itu. Bagi Sadarsah, penggunaan kata gayo sangat penting karena bisa menentukan kualitas dan juga bisa mempengaruhi harga jual. "Bila kata gayo hilang, konsumen tidak mengetahui asal kopi itu sehingga harga kopi bisa jatuh," jelas Sadarsah.
Ia menyatakan, sebagai warga negara Indonesia dirinya lebih berhak menggunakan kata gayo ketimbang orang Belanda yang menggunakan kata itu. Apalagi kata gayo adalah nama daerah di Indonesia bukan nama daerah di Belanda. "Saya lebih berhak memakai kata gayo ketimbang orang Belanda itu," tegas Sadarsah.
Adanya klaim atas merek gayo milik pengusaha Belanda itu dinilai Sadarsah telah mendustai petani kopi gayo di Aceh. "Tidak ada alasan bagi pengusaha Belanda itu melarang saya menggunakan kata gayo," ucapnya.
Walaupun dilawan pengusaha setempat, Sadarsah tetap ekspor kopi gayo ke Belanda. Saban bulan CV Arvis Sanada mengekspor empat kontainer kopi gayo. "Saya tetap ekspor walaupun Holland Coffee menuntut saya," ungkap Sadarsah.
Sekadar pengetahuan, satu kontainer mampu mengangkut 18.000 kg atau 18 ton kopi.
Untuk menyelesaikan sengketa dagang itu Sadarsah sempat melaporkannya pada Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) dan pemerintah. "Pemerintah dan asosiasi mendukung saya agar tetap ekspor kopi gayo," jelas penggemar dangdut itu.
Untuk mempertahankan merek gayo itu Sadarsah mengajukan sertifikat asal-usul kopi. Baru Mei 2010 dia berhasil mengantongi sertifikat IG (indikasi geogafis) dari International Fair Trade Organization (IFTO). Sertifikat itu menyatakan Sadarsah berhak memakai kata gayo pada produk kopi miliknya yang berasal dari Gayo.
Berkat sertifikat IG itulah Sadarsah menjadi percaya diri memperkenalkan kopi gayo ke seluruh dunia. Oktober 2010 ia membawa kopi gayo dalam acara Lelang Spesial Kopi Indonesia di Bali. "Kopi Sumatera Arabika Gayo mendapat nilai tertinggi saat cupping score," katanya.
Prestasi itu memantapkan posisi kopi gayo sebagai kopi organik terbaik dunia. Ia bilang, prestasi itu tak lepas dari masalah yang berhasil ia hadapi. Termasuk masalah sengketa merek. "Dulu banyak yang tak kenal kopi gayo, setelah sengketa merek itu, kopi gayo malah jadi terkenal," terang bapak tiga anak itu.
Lantas ada juga kopi gayo di Aceh. Kopi ini di luar negeri juga terkenalnya seperti halnya kopi luwak. Kopi gayo ini adalah jenis kopi arabika yang dikembangkan secara organik oleh pekebun kopi di dataran tinggi Gayo di Sumatra Utara. Karena itu, kopi ini menjadi salah satu kopi favorit di dunia.
Sebagai kopi favorit tentu permintaan kopi ini juga tinggi, baik di pasar dalam negeri maupun pasar ekspor. Nah, peluang ini menjadi eksportir kopi gayo inilah yang dimainkan dengan baik oleh Sadarsah.
Pria kelahiran Medan 19 November 1974 ini melalui CV Arvis Sanada, perusahaan yang ia dirikan pada 2006, mengekspor kopi gayo ke Amerika Serikat, Inggris, Kuwait, Taiwan, Korea, Australia, Jepang, dan Laos. Saban bulan ia mengirim 15 kontainer kopi gayo ke berbagai negara itu dengan omzet minimal Rp 8 miliar.
Sadarsah mulai mengenal bisnis kopi ketika lulus kuliah pada 2001. Ketika itu dia masih menjadi tenaga pemasar di lima perusahaan eksportir kopi di Medan, Sumatra Utara. Setelah hampir lima tahun bekerja, alumnus Teknik Elektro Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara (UMSU) ini mulai memilih jalan untuk berwiraswasta. "Dengan memiliki usaha sendiri saya bisa lebih bebas berinovasi dan mengembangkan ide-ide," pungkasnya.
Pada 2006, dengan modal pinjaman dari seorang teman, Sadarsah mendirikan Arvis Sanada di Medan. Dia perlu membuat badan usaha karena melihat peluang besar dalam bisnis ekspor kopi. Apalagi ketika itu dunia lagi paceklik kopi.
Saat itu, nyaris seluruh perusahaan kopi di dunia kolaps lantaran pasokan kopi berkurang 50 persen . Situasi sulit inilah yang dibaca Sadarsah sebaliknya. Bagi dia kekurangan pasokan itu harus dia isi. Apalagi dia tahu ada produksi kopi yang melimpah ruah di Tanah Gayo. Selain itu, dia sudah paham betul seluk-beluk ekspor kopi.
Ekspor perdana yang cuma satu kontainer itu ternyata menjadi pembuka pintu gerbang bagi Sadarsah untuk memasuki perdagangan kopi dunia. “Di masa itu, langsung banyak permintaan kopi. Rata-rata, penikmat kopi dari luar negeri menginginkan kopi organik,” kata anak dari pasangan Mude dan Ratih ini.
Sadar dengan peluang besar itu, Sadarsah pun berupaya untuk mendapatkan sertifikat kopi organik dari lembaga sertifikasi Control Union di Belanda. Sertifikat ini diperolehnya pada akhir tahun 2006.
Dengan modal tambahan berupa sertifikat itu, ekspor kopi Sadarsah pun makin lancar. Hingga kini, Sadarsah mengekspor dua jenis kopi, yakni kopi gayo dan kopi konvensional. Untuk kopi Gayo, ia jual dengan merek Sumatera Arabica Gayo dan merek Sumatera Arabica Mandailing untuk kopi konvensional.
Dengan mengusung slogan "Quality, Trust, and Excellence," pertumbuhan bisnis Sadarsah melesat bak meteor. Kalau pada 2006, omzet dia hanya Rp 600 juta per bulan dengan kemampuan ekspor kopi hanya satu kontainer. Tahun berikutnya omzet sudah melonjak drastis hingga Rp 1,5 miliar per bulan.
Pada 2008, omzetnya naik lagi menjadi Rp 3 miliar per bulan, dan pada tahun lalu, Sadarsah sudah berhasil ekspor 14 kontainer per bulan mencapai omzet sebesar Rp 7,6 miliar.
Jika pada 2006 lalu Sadarsah hanya mampu mempekerjakan 15 karyawan, saat ini jumlah karyawan Arvis Sanada sudah sebanyak 100 orang. "Sejak 2006 hingga 2011 ini harga kopi antara Rp 30.000 hingga Rp 35.000 per kilo," terang Sadarsah.
Digugat pengusaha Belanda
Sadarsah yakin usahanya akan terus berkembang karena potensi kopi gayo dan kopi lainnya masih sangat besar. Menurut Sadarsah hasil perkebunan kopi di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues, masih cukup untuk menjawab kebutuhan kopi dunia. Ketiga daerah yang berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (dpl) tersebut memiliki perkebunan kopi seluas 94.800 hektare.
Keberhasilan Sadarsah, pemilik CV Arvis Sanada, mengekspor kopi gayo ke berbagai negara memang tak semudah membalik telapak tangan. Berbagai rintangan harus ia lewati agar bisa menjajakan kopi tanah Andalas ke mancanegara.
Salah satu masalah terberat yang pernah dihadapi Sadarsah adalah keberatan atas merek gayo yang dilayangkan perusahaan kopi asal Belanda, Holland Coffee, pada 2008 silam. Perusahaan itu mengklaim, Sadarsah telah menjiplak merek kopi produksi mereka.
Holland Coffee secara terang-terangan melarang Sadarsah menggunakan kata gayo pada merek kopinya, Arabica Sumatera Gayo. Apalagi kopi milik Sadarsah itu juga beredar luas di Negeri Belanda.
Perusahaan itu menyatakan, merek gayo pada kopi mereka itu sudah terdaftar dalam undang-undang merek di Belanda. Karena itu, penggunaan kata gayo oleh Sadarsah dinilai melanggar aturan merek di Belanda.
Tapi protes dari Holland Coffee itu sama sekali tidak digubris Sadarsah meski dia diancam bakal diseret ke pengadilan karena mencuri merek gayo milik Holland Coffee. Namun ancaman itu tak membuat Sadarsah menyerah dengan menghilangkan kata gayo.
Perusahaan Belanda itu sempat patah arang melihat semangat Sadarsah mempertahankan merek gayo. Mereka pun melunak tak akan lagi menuntut Sadarsah asal mengganti merek gayo dengan mandailing. Tapi Sadarsah tetap menolak permintaan itu.
Ia bilang, kata mandailing dan gayo adalah nama daerah di Sumatra. Jika kopi berasal dari Mandailing, kopi itu disebut dengan kopi mandailing. "Kalau kopi itu dari Tanah Gayo disebut kopi gayo," terang Sadarsah.
Ia mengaku tetap akan mempertahankan kata gayo pada kopi yang ia produksi itu. Bagi Sadarsah, penggunaan kata gayo sangat penting karena bisa menentukan kualitas dan juga bisa mempengaruhi harga jual. "Bila kata gayo hilang, konsumen tidak mengetahui asal kopi itu sehingga harga kopi bisa jatuh," jelas Sadarsah.
Ia menyatakan, sebagai warga negara Indonesia dirinya lebih berhak menggunakan kata gayo ketimbang orang Belanda yang menggunakan kata itu. Apalagi kata gayo adalah nama daerah di Indonesia bukan nama daerah di Belanda. "Saya lebih berhak memakai kata gayo ketimbang orang Belanda itu," tegas Sadarsah.
Adanya klaim atas merek gayo milik pengusaha Belanda itu dinilai Sadarsah telah mendustai petani kopi gayo di Aceh. "Tidak ada alasan bagi pengusaha Belanda itu melarang saya menggunakan kata gayo," ucapnya.
Walaupun dilawan pengusaha setempat, Sadarsah tetap ekspor kopi gayo ke Belanda. Saban bulan CV Arvis Sanada mengekspor empat kontainer kopi gayo. "Saya tetap ekspor walaupun Holland Coffee menuntut saya," ungkap Sadarsah.
Sekadar pengetahuan, satu kontainer mampu mengangkut 18.000 kg atau 18 ton kopi.
Untuk menyelesaikan sengketa dagang itu Sadarsah sempat melaporkannya pada Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) dan pemerintah. "Pemerintah dan asosiasi mendukung saya agar tetap ekspor kopi gayo," jelas penggemar dangdut itu.
Untuk mempertahankan merek gayo itu Sadarsah mengajukan sertifikat asal-usul kopi. Baru Mei 2010 dia berhasil mengantongi sertifikat IG (indikasi geogafis) dari International Fair Trade Organization (IFTO). Sertifikat itu menyatakan Sadarsah berhak memakai kata gayo pada produk kopi miliknya yang berasal dari Gayo.
Berkat sertifikat IG itulah Sadarsah menjadi percaya diri memperkenalkan kopi gayo ke seluruh dunia. Oktober 2010 ia membawa kopi gayo dalam acara Lelang Spesial Kopi Indonesia di Bali. "Kopi Sumatera Arabika Gayo mendapat nilai tertinggi saat cupping score," katanya.
Prestasi itu memantapkan posisi kopi gayo sebagai kopi organik terbaik dunia. Ia bilang, prestasi itu tak lepas dari masalah yang berhasil ia hadapi. Termasuk masalah sengketa merek. "Dulu banyak yang tak kenal kopi gayo, setelah sengketa merek itu, kopi gayo malah jadi terkenal," terang bapak tiga anak itu.
No response to “Capek Jadi Pegawai, Sadarsah Sukses Jadi Eksportir”
Leave a Reply