Jumat, 15 Februari 2013

Rony, Aktivis yang Jadi Raja Kaus




 Mementingkan motivasi ketimbang mewujudkan ambisi membuat Rony Suhartono akhirnya sukses berbisnis kaus hingga sekarang. Saat ini, usahanya yang menggunakan bendera Radja Kaos menghasilkan omzet hingga Rp 1 miliar sebulan.
Di tengah sorotan publik terhadap pelaksanaan pemilihan kepala daerah atau lazim disebut pemilukada yang memboroskan bujet, ada pengusaha yang justru memetik untung dari momentum ini. Ia adalah Rony Suhartono. Sebab, semakin banyak pemilukada digelar, pesanan kaus ke CV Radja Kaos miliknya bakal semakin banyak.
Biasanya, dalam sebulan, Ronny hanya mengerjakan 200.000 potong kaus. Tapi, di saat ada pemilukada, pesanan bisa melonjak sampai 500.000 potong kaus sebulan. Dari pesanan itu, omzet yang ia raup bisa mencapai Rp 2 miliar.
Pencapaian bisnis Rony saat ini tidak datang dalam semalam. Sekitar 25 tahun lalu, ia hanyalah seorang anak ingusan dari sebuah desa kecil di Tuban, Jawa Timur. Orangtuanya berprofesi sebagai guru sekolah dasar. Sejak kecil, sulung dari tiga bersaudara ini hidup pas-pasan.
Beruntung, di kelas, Rony tergolong anak pintar. Selain selalu meraih ranking satu, ia juga siswa teladan. Prestasi itu membuatnya berhasil masuk ke SMP dan SMA terbaik di Tuban. Selain selalu menjadi Ketua OSIS, ia juga aktif dalam organisasi keagamaan di sekolah.
Selulus SMA, sadar kondisi keuangan keluarganya pas-pasan, Rony tak berani bermimpi meneruskan ke jenjang perguruan tinggi. Namun, salah seorang temannya menantangnya ikut tes Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Semua biaya tes ditanggung. Rony setuju. Ia memilih Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas Indonesia (UI).
Dasar otak encer, pilihan Rony masuk UI ternyata tembus. Bukannya senang, sang ayah malah pusing tujuh keliling. “Kami tidak punya uang untuk mendaftar ulang,” ujar Rony. Alhasil, sang ayah menjual dua kambing peliharaan untuk biaya anaknya pergi ke Jakarta. Hasil penjualan kambing senilai Rp 600.000 itu juga menjadi modal awal Rony hidup di Ibukota pada tahun 1994.
Meski sudah tiba di Stasiun Kereta Api Senen, Jakarta, Rony butuh tiga hari untuk menemukan kampus UI di Salemba. Repotnya, setelah menemukan kampus itu, ada pengumuman bahwa pendaftaran ulang mahasiswa baru dilakukan di kampus UI Depok. Rony terpaksa menempuh perjalanan Salemba-Depok dengan berjalan kaki.
Belum habis rasa lelahnya, Rony dikagetkan dengan biaya daftar ulang yang mencapai Rp 800.000. Padahal, uang bekal dari kampung sudah terpakai sebagian. Kembali ke Tuban juga butuh waktu dan biaya. Alhasil, ia terancam gagal mendaftar ulang. Akhirnya, ia nekat menghadap Rektor UI untuk minta penangguhan pembayaran.
Menjalani masa kuliah juga bukan hal mudah bagi Rony. Tak sanggup bayar uang sewa pondok, pria kelahiran 17 Februari 1975 ini terpaksa tinggal di masjid kampus UI. “Saya biasa tidak pegang uang berbulan-bulan,” kenangnya. Ia juga tidak bisa mengandalkan kiriman duit dari orangtuanya. Rony lantas mencari cara agar bisa tetap makan. Setiap malam, ia membantu pedagang pecel lele supaya mendapatkan seporsi makan malam. Kalau sedang sepi, ia mencabuti singkong liar di hutan UI untuk dimakan selama berbulan-bulan.

Proyek dari rektor
Untuk menutup biaya kuliah, Rony mesti putar otak. Sambil berkuliah, ia berjualan teh botol di kampus. Tak hanya itu, ia pun mencari objekan dengan menjual diktat-diktat catatan kuliah. Di malam hari, ia juga kerap berjualan buah di Pasar Minggu. Uang hasil kerja kerasnya itu ia kumpulkan sedikit demi sedikit. “Lumayan bisa buat bayar SPP kuliah,” kisahnya.
Di tahun 1997, ketika genderang reformasi ditabuh, laiknya mahasiswa lain, Rony ikut berjuang dalam gerakan mahasiswa untuk menggulingkan pemerintahan Soeharto. Saking semangatnya jadi aktivis, Rony yang juga menjadi Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) di UI justru malah lama lulus.
Saking lamanya kuliah, sang rektor sampai menawarkan proyek penyediaan konveksi perlengkapan mahasiswa baru asal Rony bergelar sarjana. Diberi kerjaan, ia semangat. Ia lantas membangun jaringan bisnis secara perlahan. Rony menghubungi pedagang-pedagang kaus di Jembatan Lima, Jakarta Barat yang ia kenal.
Di tahun 2004, bisnis konveksi Rony mulai berkembang. Permintaan kaus berdatangan, terutama dari perusahaan-perusahaan yang akan menggelar program promosi dan acara gathering kantor.
Tahun 2006, ketika Rony sudah mulai menapaki karier di bidang politik, pasar bisnis kausnya ikut bergeser. Ia lebih banyak melayani pembuatan kaus untuk partai politik. Pesanan partai untuk suksesi gubernur serta bupati atau walikota di pemilukada mendongkrak permintaan pesanan kaus.
Lewat bendera CV Radja Kaos, bisnis Rony kian menggurita. Kini, Radja Kaos tengah mempersiapkan peranti pemilihan pengurus daerah Partai Demokrat. Radja Kaos tak hanya membuat kaus, tapi juga poster dan spanduk. “Semua keperluan suksesi di partai kami siapkan,” kata Rony.

No response to “Rony, Aktivis yang Jadi Raja Kaus”

Leave a Reply