Selasa, 05 Februari 2013

Rp 2.000, Bisa Topang Masa Tua



ani
Iwa (61), pemilik Indo Citra Galeri Craft & Art saat ditemui Kompas.com, di sela-sela pameran Ekonomi Daur Ulang, di Hotel Bidakara, Jakarta.

 Usia boleh senja, tetapi semangat untuk berkarya tetap tinggi. Itulah yang dipraktikkan Iwa, pemilik Indo Cipta Galeri Craft Art di Bogor, Jawa Barat.
Perempuan berusia 61 tahun ini setiap hari menopang usahanya dengan bekerja sebagai perajin aksesori dan sulaman kepompong. Dengan penglihatan yang mulai surut, setiap hari dia bisa menghasilkan lebih dari 10 kerajinan. Bahkan, dalam waktu tiga bulan, dia bisa menghasilkan sekitar 300 kerajinan dari tangannya sendiri.
Alhasil, dari hasil kerjanya itu, nenek satu cucu ini tak perlu menggantungkan hari tuanya di tangan suami ataupun anak-anaknya.
”Umur sekian enggak masalah. Ngapain pensiun,ngapain kita berhenti. Kita senang kok hobi kita tersalur, biarpun sudah nenek-nenek. Nanti saja kalau sudah diambil Tuhan baru pensiun,” kata Iwa kepada Kompas.com saat ditemui di lokasi pameran ekonomi daur ulang, Hotel Bidakara, Jakarta.
Sudah sembilan tahun Iwa membuat kerajinan kepompong. Sebelum memproduksi kerajinan aksesori dan sulaman kepompong, nenek satu cucu ini membuat kerajinan bunga kering. Pekerjaan ini dijalaninya sejak 32 tahun silam.
Saat itu, Iwa baru saja diperistri oleh suaminya, Irwin Hasibuan (62). Kehidupan pengantin baru ternyata membuatnya memiliki banyak waktu luang. Dia pun mencari kegiatan dan mulai menggeluti hobinya saat masih gadis dulu, yakni membuat kerajinan.
Dengan bermodalkan Rp 2.000, dia menjajal kerajinan bunga kering. Tak disangka, hasil kerajinannya ini laku dijual dan pesanan pun mulai membanjir.
Puluhan tahun menyetir usahanya, Iwa pernah berulang kali mengalami jatuh bangun. Usahanya mengalami masa kejayaan pada 1992. Saat itu, banyak pesanan mengalir dari Amerika Serikat, Brunei, dan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.
Dari dalam negeri, pelanggannya banyak berasal dari kalangan birokrat. Namun, krisis moneter 1997 menghantam usahanya. ”Saat krisis moneter itu pelan-pelan usaha saya terus menurun. Itulah yang disebut sampai titik nadir kami. Terus terang saya bingung mau bagaimana. Pokoknya sempat menangis berdarah-darah,” ujarnya pelan.
Tak kehilangan semangat, ibu tiga anak ini terus memproduksi bunga kering. Zaman pemerintahan Gus Dur, dia mendapat pesanan 20 rangkaian bunga kering dari kalangan pegawai pemerintahan. Pesanan ini cukup membangkitkan usahanya kembali.
Memasuki abad ke-21, dia merasa bahwa pasar telah mulai jenuh dengan produknya. Iwa mencoba kreasi baru dengan mengadopsi kepompong untuk diimbuhkan dalam kerajinannya.
Tak hanya kepompong sutra, segala macam rumah ulat ini dicobanya. Biasanya, dia memilih untuk mempertahankan warna asli kepompong dalam setiap produknya. Hasilnya, kepompong warna kuning emas atau putih ini disulap menjadi aksesori baju ataupun jepitan rambut. Versi lain, Iwa menyulamkan kepompong sebagai hiasan di baju ataupun selendang.
”Ibu cari biar tampil beda dan eksklusif. Pokoknya harus kreatif dan bahannya yang unik. Dari situ saya lihat kepompong dan berpikir kalau itu bisa disulam dan diapa-apain menjadi aksesori. Eh, malah bikinan nenek-nenek disukai anak-anak,” ucapnya.
Rajin ikut pameran
Untuk memuluskan usahanya, Iwa terbilang rajin mengikuti pameran. Langkahnya beralasan karena pameran menjadi ajang untuk mempromosikan produknya. Dalam satu kali pameran, dia bisa meraup omzet Rp 2 juta hingga Rp 3 juta dari aksesori yang dijualnya seharga rata-rata Rp 10.000 per buah.
”Pokoknya ikut pameran terus. Apalagi kalau diundang, kayak kemarin dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, terus perusahaan-perusahaan itu juga pernah ngundang,” ujar Iwa.
Tak hanya di Indonesia saja, perempuan kelahiran Medan ini juga pernah memboyong produknya ke Singapura untuk mengikuti pameran selama tiga minggu. Di negara tetangga itu, produknya juga laris manis.
Uniknya, Iwa mengaku hanya dapat membuat paling banyak dua kerajinan dengan desain yang sama persis. Selebihnya, bentuk desainnya pasti sudah berbeda. Lantas, bagaimana apabila ada banyak pesanan dengan desain yang sama?
”Ya, kasih saja ke pegawai. Kan banyak yang bisa mengerjakan. Benar lho, ini enggak tahu kenapa cuma bisa buat satu atau dua saja dengan desain yang sama. Kalau disuruh bikin yang sama lagi, sudah enggak bisa itu,” jawabnya.
Kini, selain membuat kerajinan, dia juga disibukkan dengan kegiatan mengajar para mahasiswa yang ingin belajar membuat kerajinan. Jumlah muridnya ini mencapai belasan. Ke depan, dia berangan-angan membuat buku katalog berisi koleksi desain aksesorinya. Semoga berhasil!

No response to “Rp 2.000, Bisa Topang Masa Tua”

Leave a Reply