Sabtu, 02 Februari 2013

Bisnis Limbah Pisang Menembus Eropa


KOMPAS.com — Di tangan Supartini atau lebih dikenal dengan nama Tien Soebandiri, limbah pelepah pisang bisa disulap menjadi produk kerajinan bernilai jual tinggi.
”Pada dasarnya saya suka berkreasi dengan kerajinan dari bahan apa pun. Kalau kelobot atau kulit jagung dan daun kering rasanya sudah sering, saya iseng coba pelepah pisang waktu itu,” kata wanita dengan empat cucu ini.
Idenya sederhana, menjadikan pelepah pisang sebagai produk kerajinan khas lokal yang bisa ditenteng sebagai oleh-oleh bagi wisatawan. ”Suami saya kalau ke luar negeri sering beli kerajinan khas negara tersebut. Kebanyakan berupa boneka. Saya terinspirasi dari situ, menjadikan pelepah pisang sebagai boneka yang mudah ditenteng wisatawan,” kata wanita berusia 66 tahun ini.
Awalnya, ia hanya bermodal satu gedebok pisang yang sudah dikeringkan untuk diuji coba. Bahannya, kawat sebagai kerangka, lem dan benang untuk rambut. Untuk boneka besar yang lebih dari 20 cm, kerangkanya dari botol. Baju boneka bisa di-mixpelepah pisang kering, kelobot, kepompong, dan daun kering. Untuk rambutnya, bisa terbuat dari serabut jambe atau potongan tali karung.
”Saya bikin 2–4 boneka sebagai contoh. Setelah direspons, barulah bikin dalam jumlah banyak. Order terbanyak ekspor ke Jepang dan Eropa, tapi tidak ekspor langsung melainkan lewat buyer dari Jakarta yang mengirimkan ke sana,” ujar Tien saat ditemui di rumahnya di Jalan Ciliwung, Surabaya.
Untuk boneka yang kecil-kecil setinggi 20 cm, harganya berkisar Rp 50.000–Rp70.000, sedangkan yang berukuran besar antara Rp 100.000–Rp 150.000. Harga bisa menyesuaikan sesuai order dan tingkat kerumitan pembuatan baju. ”Saya tidakready stock, hanya by order. Stok yang ada ini hanya untuk contoh. Tiap bulan tak selalu ada order karena kerajinan saya tak hanya boneka, tapi ada bunga kering dan kerajinan lainnya. Kalau order boneka sepi, omzet di-cover dari kerajinan yang lain,” lanjut mantan Ketua Asosiasi Pengrajin Bunga Kering dan Bunga Buatan (Aspringta) Surabaya ini.
Menurut Tien, order paling ramai jika ada pameran dan musim pernikahan karena banyak pesanan boneka limbah ini untuk dijadikan sebagai suvenir. Untuk kebutuhan gedebok pisang, ia pesan langsung dari Yogyakarta, Mojokerto, dan Sidoarjo.
”Kalau pas musim kemarau, saya beli gedebok banyak untuk stok saat musim hujan karena susah dapat gedebok bagus, rata-rata gampang busuk dan rusak,” ujar wanita kelahiran Yogyakarta, 14 Maret ini.
Sekali mengirim gedebok kering sampai 10 kg dengan harga Rp 175.000–Rp 200.000. Ia sengaja tidak memesan gedebok basah karena proses pengeringannya harus secara manual dan itu memakan waktu lama. ”Tak semua gedebok kering itu bisa dipakai, saya pilih serat yang bagus, yang cacat dibuang. Jadi 10 kg gedebok kering bisa menghasilkan 50 boneka kalau ukurannya besar, tapi untuk boneka ukuran kecil bisa 100 boneka. Itu jatah sebulan,” kata Tien yang melibatkan puluhan ibu-ibu perajin untuk pembuatannya.
Proses pembuatan boneka pelepah pisang tidak terlalu rumit. Gedebok kering direndam 60 menit dengan cairan H2O2 (hidrogen peroksida). Harga cairan ini Rp 350.000 per galon. Jangan terlalu lama direndam karena bisa getas. Angkat, lalu cuci bersih, diangin-angin sebentar, jangan dijemur di bawah terik matahari. Masuk proses pewarnaan dengan sitrun selama 20 menit. Angkat, lalu keringkan secara manual. Setelah itu baru disetrika, lalu digunting sesuai kebutuhan.
”Dari unsur kepompong kering dan daun kering, seperti daun sirsak, saya buat untuk aksesori boneka berupa bros cantik. Proses pengeringannya hampir sama, cuma harus lebih telaten karena gampang rusak,” kata wanita yang tiap bulannya bisa meraup omzet Rp 5 juta dari usaha ini. (Dwi Pramesti YS)

No response to “Bisnis Limbah Pisang Menembus Eropa”

Leave a Reply