Sabtu, 09 Februari 2013

Budidaya Apel Organik


PENDAHULUAN

Apel telah diketahui sebagai buahajaib yang mampu mencegah dan menyembuhkan berbagai penyakit. Apel yang dihasilkan dari penerapan pertanianorganik, memiliki khasiat jauh lebih baik dari pada yang non organik. Apel yang dihasilkan dari proses non organik mengandung berbagai bahan kimia yang bersifat racun bagi manusia. Apel organik untuk menjaga kesehatan dan apel non organik dapat membahayakan kesehatan.
 Apel Batu sudah lama dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia, bahkan Kota Batu dikenal banyak orang karena Apel yang dihasilkan. Petani apel Kota Batu pernah mengalami masa jaya yaitu sekitar tahun 1980 hingga menjelang Reformasi Keadaan ini dapat dicapai karena tanaman apel masih sangat baik kondisinya dan umumnya berumur 10 tahunan, lingkungan sangat mendukung dan harga sarana produksi (terutama pupuk dan pestisida) masih rendah.

Seiring perjalanan waktu, cara budidaya yang diterapkan semakin mengutamakan input luar yang makin tinggi. Demikian pula penggunaan pestisida terus mengalami peningkatan. Dampak negatif penggunaan pupuk an organik dan pestisida khususnya yang sistemik sama sekali belum diperhitungkan.
Lingkungan (ekosistem) pendukung mengalami penurunan akibat pembangunan yang mengabaikan kelestarian lingkungan. Penurunan kualitas sumber daya alam dan penerapan praktek budidaya yang buruk menyebabkan makin merosotnya kualitas dan kuantitas hasil dan bahkan banyak tanaman apel yang merana dan kemudian mati atau dibongkar.
Dalam keadaan demikian, beberapa petani mengalami kebingungan, sehingga justru tidak mampu mempertahankan tanaman apelnya. Kehadiran kegiatan SLPHT Apel seolah menjadi sumber pencerahan ditengah kebinmgungan. Penerapan PHT pada kenyataannya terbukti mampu menumbuhkan kembali semangat berusahatani apel.  Hal ini terbukti dengan masih berlanjutnya pertemuan SLPHT yang saat ini sudah hampir setahun.
Model sekolah lapang dengan keragaman materi yang tinggi memberi daya tarik tersendiri bagi petani karena sesuai dengan kebutuhan petani. SLPHT telah mampu merubah cara pandang petani dari cara budidaya sesuai kehendak petani menjadi sesuai kebutuhan tanaman, dan dari pupuk an organik sebagai pupuk utama menjadi pupuk organik sebagai pupuk utama. Pada perkembangan selanjutnya, beberapa petani mulai lebih mengarah pada sistem pertanian organik.

BUDIDAYA APEL ORGANIK
1. Keadaan Umum Kebun Apel
Tanaman apel di Kecamatan Bumiaji pada umumnya merupakan warisan tanaman dengan jarak tanam yang tidak ideal (terlalu rapat, 1 - 1,5 m) dan sudah berumur lebih dari 20 tahun. Keadaan ini tentu tidak menguntungkan dari sisi kesehatan tanaman. Jarak tanam yang rapat menyebabkan terjadinya kompetisi yang kuat antar tanaman, serta menimbulkan kelembaban yang tinggi dalam kebun yang memicu perkembangan penyakit. Praktek budidaya yang dilakukan adalah dengan mengandalkan input luar bahan kimiawi yang tinggi sehingga membahayakan sekehatan tanaman dan lingkungan.
Berdasarkan hasil pengujian tanah yang dilaksanakn oleh Laboratorium tanah Fakultas PertanianUniversitas Brawijaya diketahui bahwa kandungan bahan organik sangat rendah yaitu hanya 0,79 %. Hal ini menunjukkan bahwa tanah tidak memliki kemampuan untuk mendukung tanaman tumbuh sehat dan menopang agroekosistem. Keadaan ini dijadikan rujukan awal terhadap labilnya keadaan agroekosistem yang ditandai dengan seringnya terjadi peledakan serangan OPT.
Dari hasil pengamatan agroekosistem awal diketahui bahwa keragaman serangga sangat rendah, bahkan musuh alami tidak ditemukan. Populasi Thrips dan Kutu Hijau meningkat dengan pesat, demikian pula dengan intensitas serangan penyakit khususnya Embun Tepung. Dalam keadaan demikian, pengamatan terhadap suhu dan kelembaban sangat diperlukan sebagai data pendukung untuk memperkirakan kemungkinan peningkatan serangan penyakit.

2. Tahapan Menuju Penerapan Pertanian Organik
Melalui pemahaman prinsip-prinsip PHT dan analisa agroekosistem, petani mengetahui bahwa keadaan tanah merupakan faktor penting untuk kesehatan tanaman dan memungkinkan adanya keseimbangan dalam agroekosistem. Terdapat 4 prinsip yang harus dapat dipahami oleh para petani Alumni SLPHT agar mampu menerapkan PHT dilahannya, yaitu Budidaya tanaman sehat, pengamatan mingguan (rutin), pelestarian musuh alami dan petani sebagai ahli PHT.
Budidaya tanaman sehat merupakan langkah awal untuk meminimalkan serangan hama dan penyakit. Dengan asumsi bahwa jika tanaman telah tumbuh dengan sehat, maka tanaman memiliki kemampuan mempertahankan diri dari serangan hama maupun penyakit.
Budidaya tanaman sehat mencakup berbagai aspek mulai dari pra tanam hingga panen. Tanaman sehat dapat diperoleh jika bibit yang digunakan sehat, di tanam pada tanah yang sehat, penerapan cara budidaya yang baik dan didukung oleh lingkungan yang sehat.
Pengamatan merupakan bagian penting dalam budidaya apel. Dengan pengamatan, dapat diketahui pertumbuhan tanaman, keberadaan serangga hama  dan musuh alaminya, intensitas serangan hama dan penyakit dan keadaan lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan tanaman, hama dan penyakit. Hasil pengamatan dianalisa dan digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yaitu tindakan yang perlu dilakukan untuk melindungi tanaman agar dapat tumbuh sehat.
Pelestarian musuh alami merupakan kegiatan yang ditujukan untuk menjaga keberadaan dan kemampuan musuh alami dalam menjalankan fungsinya yaitu sebagai pengendali alami hama dan penyakit tanaman. Keberadaan musuh alami dipengaruhi oleh ketersediaan pakan dan lingkungan hidupnya. Musuh alami pada umumnya peka terhadap penggunaan pestisida. Oleh sebab itu, penggunaan pestisida harus menjadi alternatif terakhir jika seperangkat cara pengendalian yang lain tidak mampu mengendalikan populasi maupun intensitas serangan hama dan penyakit sesuai yang diharapkan.
Sebagai pengambil keputusan dalam usaha tani maka petani alumni SLPHT diharapkan sebagai “Ahli PHT” yaitu memiliki kemandirian dalam penerapan PHT dan sebagai pemilik PHT. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pengendalian hama dan penyakit merupakan bagian integral dari seluruh tahapan proses usahatani, dan tindakan pengendalian harus dilakukan sedioni mungkin, cepat dan tepat.
Dengan pemahaman terhadap agroekosistem dan prinsip-prinsip PHT memudahkan bagi petani untuk merencanakan tahapan-tahapan menuju penerapan sistem pertanian organik. Beberapa tahapan yang telah dan akan dilaksanakan secara terus menerus adalah sebagai berikut :
a.      Peningkatan Daya Dukung Lahan.
Pemberian pupuk organis adalah untuk meningkatkan kesuburan fisik, biologis dan kimiawi tanah. Fisik tanah yang remah dan dengan rongga tanah yang cukup sangat dibutuhkan oleh akar tanaman dan baik untuk tempat hidup mikroorghanisme tanah.
Kesuburan biologis yang cukup, akan menjamin ketersediaan unsur hara bagi tanaman dan pengendalian penyakit perakaran oleh agens antagonis. Adanya kehidupan serangga pengurai dalam tanah sangat membantu dalam pelestarian musuh alami (sebagai pakan selain hama).
Kesuburan kimiawi adalah tersedianya unsur hara tanaman dalam jumlah dan jenis yang cukup sesuai pertumbuhan tanaman. Pemberian pupuk organik yang tepat akan menyediakan unsur hara sesuai kebutuhan tanaman baik dalam jumlah maupun jenisnya. Dosis pupuk organik yang dibutuhkan tanaman berdasarkan hasil uji tanah adalah 30 – 50 kg per pohon. Namun, sebagian besar petani masih memberikan pupuk organik dibawah 10 kg per tanaman.
b.      Perbaikan kualitas tanaman.
Kegiatan ini ditujukan untuk mengganti cabang-cabang yang sudah tua dan ada kerusakan jaringan akibat penggunaan pestisida sistemik yang berlebihan maupun oleh faktor lain. Dengan adanya cabang baru yang sehat, diharapkan akan menghasilkan buah dan daun yang lebih baik.  Pada keadaan tertentu, juga dilakukan pangkas pohon pokok (pangkas habis) pada tanaman apel yang batang pokoknya rusak akibat serangan penyakit. Kegiatan ini ternyata mampu menumbuhkan batang baru yang sehat dan lebih baik. Pada batang pohon yang mengalami kerusakan parah hingga ke akar tanaman, maka dilakukan pembongkaran untuk mencegah penularan penyakit dan untuk penjarangan pohon agar jarak tanamnya lebih baik.
c.       Perbaikan kualitas kebun.
Apel membutuhkan ketersediaan air secara terus menerus, tetapi tidak tahan terhadap genangan air (air jenuh). Dalam kondisi daya serap tanah terhadap air rendah, sangat diperlukan adanya sistem irigasi yang baik untuk menjamin ketersediaan air. Saat ini, pada salah satu kebun telah ada rancang bangun sistem irigasi tetes yang dibuatkan oleh Fakultas Teknologi PertanianUniversitas Brawijaya Malang.
Penyiangan kebun dilakukan untuk memanen hijauan sumber bahan organik sehingga tidak perlu dengan pencangkulan yang dalam maupun dengan herbisida. Sisakan sebagian gulma untuk penutup tanah, tempat hidup beberapa serangga dan mencegah erosi permukaan tanah. Penyiangan sebaiknya dilakukan dengan membabat gulma sebelum menghasilkan biji.
Untuk meningkatkan keragaman serangga dan sekaligus untuk melestarikan musuh alami dalam rangka menjaga keseimbangan agroekosistem perlu dilakukan penanaman beberapa tanaman non apel, baik sebagai penutup tanah, sumber bahan organik serta sebagai barier atau tanaman pagar.
d.      Pemanfaatan dan pelestarian musuh alami
Salah satu faktor yang menyebabkan usahatani menjadi mahal dan tidak efisien adalah tidak adanya atau sangat rendahnya populasi musuh alami. Sehingga sangat banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk menggantikan peran musuh alami dalam menekan populasi hama. Untuk memancing kehadiran seerangga dewasa musuh alami, perlu penanaman tanaman yang berbunga, namun perlu diperhitungkan kehadiran hama Thrips yang juga menyukai bunga.
Musuh alami secara umum lebih peka terhadap pestisida, oleh sebab itu dalam aplikasi pestisida (insektisida) lebih baik menggunakan yang berspektrum sempit dan jika diperlukan lakukan aplikasi spot-spot. Akan lebih baik jika menggunakan pestisida nabati dengan memanfaatkan tanaman yang ada. Pengendalian hama juga dapat dilakukan dengan cendawan entomopatogen yaitu Beauveria bassiana atau Metarhizium sp (keduanya telah dieksplorasi dari kebun apel). Untuk pengendalian penyakit digunakan bubur california (BC). Strategi penggunaan BC adalah dengan aplikasi dini berdasarkan suhu dan kelembaban serta arah angin, fase pertumbuhan tanaman dan serangan di kebun sekitar (sumber inokulum di hamparan). Hal ini perlu dilakukan karena keterlambatan aplikasi dapat mengakibatkan tidak efektifnya penggunaan BC dan belum adanya pengendali alami akibat penggunaan fungisida yang tinggi pada waktu yang lalu.
Pada tanah dengan kandungan bahan organik rendah, tanaman akan mudah terserang penyakit perakaran  atau tular tanah. Oleh sebab itu, pemberian bahan organik sebaiknya ditambahkan mikroorganisme yang mampu mengendalikan serangan penyakit dan berfungsi sebagai perombak atau pengurai yang membantu ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Mikroorganisme yang telah digunakan adalah Trichoderma sp (telah dieksplorasi dari kebun apel), Gliocladium sp danPseudomonas flourescens.
Kegiatan tersebut diatas, ditujukan untuk menciptakan keadaan lahan yang sehat, mampu mendukung pertumbuhan tanaman yang sehat dan ekosistem yang baik. Kegiatan budidaya lainnya tetap dilakukan sebagaimana biasa, namun dengan dasar pemikiran dan tujuan yang berbeda.
a.       Penyiangan, dilakukan untuk mengurangi kelembaban, sebagai sumber bahan organik, dan disisakan untuk tempat hidup musuh alami (refugia). Dilakukan dengan cara membabat (sabit), dihindari pencangkulan yang dalam untuk mencegah erosi permukaan tanah, penahan aliran air.
b.      Pengairan, dilakukan untuk menjaga agar air dalam keadaan tersedia bagai tanaman. Hindari cara leb-leban (penggenangan) yang dapat berpengaruh buruk terhadap perakaran. Jika diperlukan dengan cara dikocor atau sistem irigasi tetes. Sistem drainase yang baik, agar saat musim hujan air mudah mengalir.
c.       Perompesan, jangan terlalu dekat atau terlalu lama dari masa panen. Sebaiknya dilakukan ketika bakal tunas telah siap dan perlu dilakukan pemupukan sebelumnya agar tanaman memiliki cukup cadangan energi untuk pertunasan. Hindari perompesan daun dengan cara dibakar(dengan bahan kimia, misal pupuk N) karena dapat merusak jaringan kulit batang dan memudahkan pertumbuhan penyakit. Perompesan daun dilakukan secara manual (dengan tangan) dengan hati-hati dan hasil rompesan digunakan sebagai sumber bahan organik.
d.      Pemangkasan, dilakukan setelah perompesan dengan tujuan mengatur percabangan untuk dibuahkan maupun untuk mengurangi kelembaban, dan membuang sumber inokulum (penyakit) serta meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber energi (unsur hara dan sinar matahari). Dalam pemangkasan, diupayakan sepertiganya adalah untuk menghasilkan percabangan baru yang pada musim berikutnya dibuahkan. Cara pemangkasan harus tepat (dekat knop/bakal tunas jika untuk pembungaan) dan diatur sedemikian rupa agar munculnya bunga merata pada seluruh sisi pohon dengan harapan semua buah mendapat pencahayaan yang cukup.
e.       Pada tanaman yang belum menghasilkan, pemangkasan dilakukan untuk membentuk tajuk tanaman yang baik. Hasil pangkasan dapat digunakan sebagai sumber bahan organik (dicacah dan diproses) atau untuk keperluan lain. Jika sisa pangkasan banyak terdapat sumber penyakit,  maka harus segera dikeluarkan dari kebun atau dibakar.
f.       Pelengkungan cabang, dilakukan untuk menyerempakkan pertumbuhan tunas lateral sehingga pembungaan relatif seragam. Kegiatan ini dapat dilakukan jika jarak tanam memenuhi syarat. Pada jarak tanam yang rapat, cara ini tidak banyak dilakukan.
g.      Penjarangan buah, perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas buah (ukuran, penampakan). Kegiatan ini dilakukan jika buah terlalu banyak pada umur 2-3 bulan. Jumlah buah yang banyak dalam satu tunas dapat terjadi jika digunakan ZPT atau pemangkasan yang tidak tepat (banyak tunas yang tidak berbunga) sehingga buah menngumpul pada beberapa tunas saja. Penjarangan buah harus didasari keyakinan bahwa pengurangan jumlah buah tidak akan berpengaruh nyata pada bobot hasil. Dengan penjarangan akan dihasilkan buah yang lebih berkualitas dan memiliki harga jual lebih baik, sehingga meningkatkan pendapatan petani.
h.      Pembelongsongan buah, dilakukan 3 bulan sebelum panen pada apel manalagi. Pembelongsongan dilakukan menggunakan kertas minyak atau bekas buku telpon dengan tujuan untuk mendapatkan warna kulit buah tetap mulus dan terhindar dari serangan burung atau kelelawar.
i.        Panen, sebaiknya dilakukan pada saat buah matang secara fisiologis. Jika panen dilakukan saat buah belum siap akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan tanaman dan pembungaan pada musim berikutnya. Biasanya tanaman akan menghasilkan tunas vegetatif yang berlebihan dan pembungaan pada musim berikutnya akan kesulitan (banyak yang tidak jadi buah). Cara panen harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kerusakan tanaman dan kerusakan buah.
j.        Perlakuan khusus dilakukan dengan memberikan zat hormonal tertentu disertai beberapa nutrisi mikro yang hanya dilakukan pada saat berbunga pada musim hujan dengan tujuan mempertahankan bunga agar menjadi buah. Perlakuan ini diperlukan jika hujan cukup lebat, berlangsung lama pada siang hari dan tanaman belum sehat sepenuhnya.

Penerapan pertanian organik pada tanaman apel harus didukung oleh cara budidaya yang baik. Berikut di bawah ini beberapa perubahan cara budidaya yang diperlukan.

No
Aspek Budidaya
Tidak Organik
Menuju Organik
1.
Pemupukan
Untuk memenuhi kebutuhan unsur hara khususnya makro (kesuburan kimia)
Pupuk Kimia sebagai unsur utama
Sesuai rekomendasi umum
Untuk menjaga kesuburan fisik, biologi dan kimia tanah
Pupuk Organik sebagai unsur utama
Didasari oleh hasil pengujian tanah
2.
Perompesan
Dibakar dengan bahan kimia tertentu
Secara manual
3.
Pemangkasan
Diutamakan untuk tunas dan bunga muncul sebanyak-banyaknya.
Membuang cabang yang sakit (tidak menghasilkkan)
Untuk kesehatan tanaman dengan pengaturan cabang dan ranting agar maksimal mendapat cahaya dan ruang tumbuh, serta untuk mengurangi kelembaban
Meminimalkan inokulum awal
4.
Penggunaan ZPT dan pupuk daun
Aplikasi ZPT untuk tunas dan bunga muncul lebih banyak dan serempak.
Mencegah kerontokan bunga maupun buah
Untuk keserempakan munculnya bunga
5.
Penyiangan
Gulma dimatikan, lahan bersih dari gulma
Sisakan gulma dan dipanen untuk bahan pupuk organik
6.
Penyiraman
Tergenang (jenuh) bahkan  menggenangi leher akar atau kekurangan air
Tidak tergenang (tersedia) didukung oleh daya serap air oleh tanah dan sistem irigasi yang baik
7.
Penjarangan buah
Dilakukan untuk buah yang sakit
Untuk meningkatkan kualitas buah (jika menggunakan perangsang pembungaan).
8.
Pengendalian Hama dan Penyakit
Mengandalkan pestisida kimiawi
Bagian integral seluruh proses budidaya
Mengutamakan peran pengendali alami
Mengkombinasikan berbagai cara pengendalian
Pestisida kimiawi sebagai alternatif terakhir.
Mengendalikan (menekan) populasi bukan memusnahkan
9.
Panen
Panen belum saat matang fisiologis
Dipanen saat matang secara fisiologis

Penerapan pertanian organik, pada dasarnya tidak dapat dilakukan sekaligus dalam waktu yang singkat. Tetapi harus dalam tahapan proses yang berimbang antara kondisi tanah, tanaman, perkembangan agroekosistem, dan lingkungan. Jika penerapan pertanian organik pada tanaman apel diterapkan secara langsung (langsung tanpa menggunakan bahan an organik) akan rawan kegagalan, karena agroekosistem belum siap (unsur penyusun belum berfungsi optimal) dan ekosistem sekitar belum mampu mendukung.
Di Kelompok Tani Makmur Abadi, saat ini baru 0,2 hektar kebun apel
yang telah organik penuh, 10 ha sudah mampu mengurangi bahan an organik sampai 80 % dan sisanya sudah mampu menekan hingga 40 % penggunaan bahan an organik. Secara umum, hampir semua petani telah menggunakan pupuk organik dan bubur california untuk pengendalian penyakit. Sebagian petani telah menggunakan pupuk organik cair sejak tahun 2003, namun penggunaan pupuk organik padat baru dilakukan pada saat dan setelah petani melaksanakan SLPHT Apel.
Dibawah ini perkembangan dan perbandingan penggunaan bahan organik dan alokasi biaya produksi serta BC ratio dari sebelum tahun 2003, tahun 2003 hingga 2006 dan setelah SLPHT tahun 2006.
Perbandingan Penggunaan Bahan organik dan an organik pada Praktek Budidaya Apel di Kelompok Tani Makmur Abadi
No
Uraian
< tahun 2003
2003 -
³ SLPHT 2006
1.
Pupuk organik cair
Tidak diberikan
Diberikan
Diberikan
2.
Pupuk organik padat
Tidak diberikan
Tidak diberikan
Diberikan 5 – 20 ton/ha
3.
Pupuk an organik NPK
± 2 kg  /pohon
± 1 kg/pohon (tidak mampu beli)
0 – 200 gr/ pohon
4.
Aplikasi pestisida
30 – 35 kali
20 – 30 kali
0 – 8 kali
5.
Aplikasi BC
Tidak
0 – 10 kali
10 –16 kali
6.
Aplikasi Trichoderma sp.
Tidak
Tidak
1 Lt untuk 1 ton pupuk organik
7.
Aplikasi Pf *)
Tidak
Tidak
1 Lt untuk 1 ton pupuk organik
8.
Aplikasi Beauveria
Tidak
Tidak
0 – 2 lt / ha
*) Pseudomonas flourescens


Perbandingan Alokasi Biaya Produksi dan Hasil Panen pada kebun Apel seluas 1,6 hektar saat berbuah Musim Penghujan

No
Uraian
 2004
2005
2006
2007
1.
Biaya beli pestisida (Rp.)
16.828.500
15.334.500
14.274.000
12.259.000
2.
Aplikasi pestisida *)
27 kali
25 kali
24 kali
21 kali
3.
Total Biaya (Rp.)

38.234.000
35.397.500
31.525.500
23.011.000
4.
Hasil panen (ton)
54,739
59,989
- **)
39 **)
5.
Hasil penjualan (Rp)
84.297.700
80.496.000
73.264.000
108.200.000
6.
B/C ratio
1.20
1.27
1.32
3.70
*) Termasuk yang menggunakan bubur california
**) dengan petik kebun
- data tidak lengkap

Dari data di atas nampak bahwa biaya total, biaya dan frekwensi penggunaan pestisida dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Penurunan biaya tertinggi terjadi pada tahun 2007, yaitu setelah pelaksanaan PHT. Tahun 2007, biaya pembelian pestisida lebih murah karena bahan yang digunakan 70 % adalah bubur california  dan pengendalian hama /penyakit dilakukan sesuai dengan prinsip PHT. Biaya total tahun 2007 sangat rendah dibandingkan tahun sebelumnya, karena sudah tidak menggunakan pupuk kimia NPK (an organik) dan biaya tenaga kerja dapat dihemat hingga 100 %.
B/C ratio tertinggi diperoleh pada tahun 2007, yaitu setelah penerapan PHT pada dua musim buah. Hal ini menunjukkan bahwa setelah SLPHT dan penerapan PHT di lahan usaha, kami mampu melakukan efisiensi biaya usaha yang sangat tinggi, dan kualitas buah yang dihasilkan jauh lebih baik sehingga harga jualnya juga tinggi.


KEGIATAN PENDUKUNG


1.      Kelembagaan Petani
Kegagalan petani dalam pemanfaatan teknologi seringkali terjadi akibat ketidak seimbangan antara kemampuan menerapkan teknologi dengan kemampuan menajemen usaha. Akibatnya manfaat teknologi menjadi tidak terasa. Berdasar pengalaman tersebut, kami merancang adanya kelembagaan usaha yang kuat, mengelola seluruh hamparan, dikelola secara profesional untuk menghasilkan buahapel yang jelas kualitas dan jumlahnya, dan mampu menetapkan harga jual petani. Saat ini, kami telah memiliki unit usaha produksi pupuk organik sebagai embrio kelompok usaha produksi buah apel. Serta pra koperasi yang membidangi kegiatan pemasaran. Harapannya, penjualan apel dapat dikontrol melalui koperasi, dan koperasi mampu membantu pemenuhan kebutuhan hidup petani sehingga tidak mengganggu proses produksi di lahan usaha.
2.      Mitra Kerja
  1. Paguyuban Petani Madani, sebagian petani menjadi anggota
  2. BIO Indonesia, Malang : kemitraan untuk teknologi dan sarana produksi pertanian organik dan penjaminan mutu produk.
  3. Lembaga Pemberdayaan Pertanian dan Pedesaan (LP3) Malang : kemitraan untuk bimbingan manajemen usaha ekonomi produktif.

PENUTUP

SLPHT Apel telah mampu menumbuhkan harapan bagi petani untuk meningkatkan pendapatannya. Penerapan PHT telah meningkatkan efisiensi dan efektifitas usahatani apel, memperbaiki kualitas dan menjaga agar tanaman apel terus berproduksi. Pemahaman terhadap agroekosistem, meyakinkan petani untuk menerapkan PHT secara berkelanjutan dalam hamparan yang luas, dan menuju pertanian organik.
Secara bertahap, penggunaan input kimiawi terus berkurang dan penggunaan bahan organik terus meningkatkan. Beberapa petani telah mulai memperbaiki (regenerasi) percabangan bahkan melakukan pangkas habis. Tanaman apel yang tidak sehat juga telah dibuang dari kebun, yang sekaligus untuk memperbaiki jarak tanam. Sehingga diharapkan muncul cabang atau batang pokok baru yang lebih sehat.
Perbaikan kualitas (kesehatan) tanah, tanaman, dan penerapan cara budidaya yang baik yang mengutamakan penggunaan bahan organik, agen hayati dan pelestarian musuh alami telah dilaksanakan pada beberapa lokasi. Jika hal ini terus dilakukan dan meluas pada seluruh hamparan maka kawasan apel organik akan dapat dicapai.
Namun, tahapan dan proses menuju pertanian organik harus dilalui dengan baik, agar memberikan pemahaman yang utuh terhadap bekerjanya suatu sistem kehidupan di kebun apel yang kemudian hasilnya dipetik. Harus selalu diingat untuk mampu mengendalikan jumlah yang boleh dijual dan berapa yang harus dikembalikan ke kebun.
Bantuan berbagai pihak untuk mendukung upaya petani melakukan efisiensi dalam usahatani hingga menerapkan sistem pertanian organik sangat dibutuhkan. Proses produksi dalam budidaya tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor luar, sehingga dukungan semua pihak (bidang pembangunan) yang sinergis sangat dibutuhkan. Secara khusus, perlu ada penghargaan dan kebanggaan tersendiri terhadap produk pertanian organik. Kepedulian seluruh elemen masyarakat dan pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan sektor pertanian merupakan faktor penting untuk mewujudkan tersedianya pangan yang sehat, cukup jumlahnya dan murah harganya. Sudah waktunya petani tidak lagi mensubsidi pangan masyarakat, agar kehidupan petani menjadi sejahtera.
Ucapan terima kasih, secara tulus kami sampaikan, khususnya kepada BPTPH Jawa Timur, Bpk Ir. Nasikin beserta jajarannya, petugas POPT setempat yang telah memungkinkan kami beserta kelompok tani kami, kembali memiliki harapan untuk mempertahankan apel batu dan berharap dapat kembali mewujudkan masa kejayaan petani apel seperti tahun 1980 an.
Sumber : Temu Pakar Pertanian Organik Buah-buahan di Bukittinggi Sumatera Barat, tanggal 16-19 April 2007

No response to “Budidaya Apel Organik”

Leave a Reply