Selasa, 05 Februari 2013

Dari Kebun ke "Factory Outlet"


SHUTTERSTOCK
Teh hitam mampu melawan bakteri di dalam mulut yang biasanya menjadi biang keladi penyakit gusi dan gigi berlubang.



 Aroma wangi daun teh langsung tercium begitu memasuki halaman pabrik teh milik PTPN VIII di perkebunan Rancabali, Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Kebun ini menjadi salah satu tempat asal-muasal teh dalam berbagai kemasan yang kita lihat di pasaran.
Wangi tersebut muncul sejak daun teh yang dikumpulkan para pemetik menjalani proses awal produksi, yaitu pelayuan. Aroma yang terasa adalah aroma daun teh asli karena pabrik di Rancabali ini hanya memproduksi teh dengan cita rasa asli tanpa tambahan bahan lain, seperti bunga melati.
Ketika mengunjungi pabrik ini pekan lalu, Kepala Tanaman Perkebunan Rancabali MA Nugraha dan Kepala Pengolahan Pabrik Sperata M Kholik Nurdin memperlihatkan proses produksi teh yang tak pernah berhenti berjalan selama 24 jam setiap hari.
Rancabali adalah salah satu perkebunan di Ciwidey selain Rancabolang dan Sinumbra. Kebun yang memiliki luas 1.530,25 hektar tanaman menghasilkan itu menjadi bagian dari perkebunan teh di Jawa Barat, dengan luas 26.685 hektar. Dengan luas tersebut, Jabar adalah daerah dengan perkebunan teh terluas di Indonesia.
Di Rancabali terdapat dua pabrik teh hitam, yaitu pabrik teh ortodoks dengan nama jual Sperata dan pabrik teh cutting, tearing, curling (CTC) yang menghasilkan teh Walini.
Pelayuan adalah tahap terlama dalam proses pembuatan teh karena memakan waktu selama 18-20 jam, dilanjutkan dengan penggilingan. Dalam penggilingan inilah teh yang berasal dari bagian daun, daun berserat, dan batang terpisah.
Untuk teh hitam proses paling penting selanjutnya adalah oksidasi dan fermentasi. Proses tersebut dilakukan untuk mengeluarkan aroma dan warna hitam pada teh. Setelah itu, daun-daun teh dikeringkan agar kadar airnya turun dari 70 persen menjadi tinggal 2-3 persen.
Teh yang dikeringkan kemudian masuk ke ruang disortasi untuk dipisahkan berdasarkan ukuran. Dari 14 jenis yang didapat, seperti broken pecco, pecco fanning, dan dust, teh yang sudah jadi ini digolongkan ke dalam tiga mutu, yaitu mutu I, II, dan III.
Selesai dipak, teh tidak bisa langsung dijual ke tangan konsumen. Proses distribusinya cukup panjang karena harus melalui proses lelang. Dari tangan pemenang lelanglah, teh ada yang langsung dikemas, ada pula yang dijual lagi ke pihak lain untuk kemudian menyebar ke masyarakat melalui berbagai merek.
Ekspor
Selain untuk kebutuhan lokal, Rancabali juga menjual produknya ke luar negeri. Nugraha mengatakan, teh untuk diekspor bahkan berjumlah hampir 90 persen, dengan pasar terbesar adalah negara-negara di Eropa, terutama Inggris.
Data lima tahun terakhir, produksi teh di Rancabali berjumlah 3.760.279 kg, dengan rata-rata produktivitas 2.261 kg per hektar.
”Serapan di pasar lokal sedikit karena kebiasaan minum teh di Indonesia tidak terlalu kuat seperti di negara lain,” kata Nugraha. Padahal, Indonesia berada dalam posisi lima besar negara produsen teh, setelah India di urutan pertama, China, Sri Lanka, dan Kenya.
Data dalam buku More Than A Cup of Tea yang dikeluarkan Pusat Penelitian Teh dan Kina di Bandung menyebutkan, konsumsi teh masyarakat Indonesia hanya 270 gram per kapita per tahun. Di India, konsumsi minum tehnya jauh lebih besar, yaitu mencapai 750 gram per kapita per tahun.
Sementara masyarakat Turki menjadi pengonsumsi teh terbanyak, yaitu 2,5 kg per kapita per tahun, disusul Inggris dengan 2,1 kg per kapita per tahun.
Melihat kondisi ini, Industri Hilir Teh (IHT) PTPN VIII membuka pasar dalam negeri dengan membuat diversifikasi produk teh Walini agar lebih mudah dinikmati masyarakat. Menurut Manajer IHT Andriani Nasution, mereka mulai mengemas teh sebagai bagian gaya hidup anak muda kota besar.
Berawal dari Kota Bandung, Walini membuat beberapa kedai yang dirancang dengan konsep modern. Kedai teh ini menyatu dengan beberapa factory outlet, salah satunya yang berada di ”Stamp”, Jalan Banda.
Kedai yang cukup besar sedang dipersiapkan di daerah Dago. Di kedai itu nantinya akan ditampilkan atraksi pengolahan teh secara tradisional, yaitu dengan cara disangrai.
Di ”Stamp”, kedai menyediakan berbagai rasa teh, seperti rasa orisinal teh hijau dan hitam, serta berbagai variasi di antaranya dengan rasa jahe dan lemon. Di sini juga disediakan teh Walini dalam kemasan botol yang baru awal tahun ini diperkenalkan kepada masyarakat.
Teh Walini menggunakan daun yang diambil dari pucuk teh untuk mendapatkan kualitas terbaik. Untuk itulah, Walini memosisikan diri bersaing dengan produk-produk luar negeri dengan konsumen menengah ke atas.
Menurut Andriani, industri hilir di dalam negeri perlu diperkuat karena pasar dalam negeri juga potensial untuk digarap. ”Kita sudah lama memiliki kebiasaan minum teh. Lihat saja, setiap warung makanataupun rumah makan besar selalu menyediakan teh,” kata Andriani.
Diversifikasi juga dilakukan Teh 2 Tang yang berbasis di Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Menurut Eko Handoko (34), generasi ketiga pemilik Teh 2 Tang, setelah sejak tahun 1942 memproduksi teh wangi bunga melati, saat ini teh tersebut juga memiliki jenis teh hitam.
Sejak tahun 1989, 2 Tang juga membuat teh celup untuk menambah produk sebelumnya berupa teh daun. Awalnya, pangsa pasar teh celup ini adalah masyarakat modern yang tinggal di kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. ”Orang semakin sibuk hingga butuh sesuatu yang praktis,” kata Eko.
Sayang juga memang jika teh kualitas terbaik sebagian besar untuk memenuhi konsumsi ekspor. Mari berharap suatu kali kita duduk di kedai sembari menyeruput teh hitam yang aduhai nikmatnya....

No response to “Dari Kebun ke "Factory Outlet"”

Leave a Reply