Selasa, 05 Februari 2013

Plastik Jadi Tas Sayang Lingkungan



Pemutusan hubungan kerja bukanlah kiamat bagi Ummah Daeng Ne’nang (48). Diberhentikan sebagai karyawan dari sebuah perusahaan rotan di Makassar, Sulawesi Selatan, tujuh tahun silam, justru menjadi membawa berkah baginya. Bagi Ummah, hal ini justru awal dari sebuah kehidupan yang lebih menjanjikan.
Saat itu, pada tahun 2005, terbuka jalan baginya untuk mendirikan Yayasan Peduli Pemulung. Belakangan, bersama sang suami, Abdul Rachman Nur (60), inisiatif mendirikan yayasan itu mengantarnya menekuni dunia usaha membuat tas dari sampah plastik yang digeluti teman-teman pemulung dari yayasannya.
Ide untuk membuat tas dari sampah plastik muncul ketika Ummah menonton acara keterampilan di salah satu stasiun televisi. Dalam acara tersebut, beberapa perajin memperagakan pembuatan tas memanfaatkan plastik bekas sabun cuci piring, kecap, minyak goreng, pelembut pakaian, ataupun mi instan. Ia kepincut karena doyan berketerampilan sejak kecil.
Kendati hanya bersekolah hingga kelas III SD, anak ke-2 dari tujuh bersaudara ini memiliki bakat yang paling menonjol dibandingkan dengan kakak dan adik-adiknya. Sejak usia lima tahun, Ummah mampu menganyam seperti yang sering dilakukan sang ibu. Ia pun selalu mengisi waktu luangnya saat masih bekerja di perusahaan rotan dengan menjahit baju boneka dari benang wol.
Ummah pun tidak menyia-nyiakan peluang mengolah sampah plastik itu. Ia meminta para pemulung yang menjadi anggota yayasannya untuk memasok sampah tersebut. Iming-iming upah Rp 3.000 per kilogram (kg) ternyata mampu menarik minat pemulung yang selama ini menganggap sebelah mata sampah plastik.
”Hal ini juga berdampak positif terhadap kondisi lingkungan karena sampah plastik sulit dimusnahkan,” tutur Ummah yang tinggal di Jalan Batua Raya XIV Nomor 12, Makassar, Senin, pertengahan Mei 2010.
Ia dan sang suami pun sepakat melabeli produk mereka, ”tas sayang lingkungan”, sesuai tujuan awal keduanya untuk berperan serta menjaga kelestarian lingkungan ketimbang mencari keuntungan dari penjualan tas.
Ummah kemudian menggaet beberapa tetangga untuk mencuci sampah plastik yang menumpuk di depan rumahnya. Untuk 1 kg sampah plastik yang dicuci, Ummah mengupah mereka Rp 2.000 per orang. Sampah plastik yang sudah kering lantas dijahit menggunakan mesin jahit yang dibeli Ummah dari uang hasil patungan dengan sang suami.
Demi kelangsungan pembuatan tas ini, Ummah menyulap rumah tipe 36 milik keluarganya menjadi tempat tinggal sekaligus kantor yayasan dan tempat produksi tas. Salah satu kamar tidur berukuran 3 x 4 meter persegi dijadikan Ummah tempat menjahit tas. Dalam pembuatan tas, Ummah dibantu dua perempuan mantan pemulung yang telah diajarkan menjahit.
Pada mulanya, Ummah membuat tas sekolah dan tas jinjing yang dijual seharga Rp 40.000 per buah. Dalam sebulan ia berhasil menjual sedikitnya 50 tas. Hal itu berkat kegigihan Ummah berkeliling instansi pemerintah ataupun permukiman untuk menawarkan tas buatannya. Kala itu, omzet yang berhasil diraih Ummah antara Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per bulan.
Tiga bulan kemudian penjualan tas sempat menurun. Ummah pun mendapat masukan untuk memperbanyak model tas yang dibuat. Salah seorang temannya sempat memberikan hadiah buku berjudul From Trash to Trashion25 Kreasi Limbah Plastik (2009) karya Herianti untuk memperkaya wawasan dan kreasi Ummah.
Buku tersebut ternyata menginspirasi Ummah untuk membuat beragam jenis produk dari sampah plastik, seperti tas laptop, tas bepergian (travel bag), tas kerja (untuk map dan arsip), jas hujan (untuk anak-anak dan dewasa), celemek (pelindung tubuh saat memasak), dan dompet. Produk tersebut dijual mulai dari Rp 20.000 hingga Rp 100.000 per buah.
Inovasi ini membuat Ummah semakin percaya diri menawarkan produk buatannya ke instansi pemerintah. Produk tas kerja bikinannya cukup diminati dalam sejumlah seminar yang diadakan pemerintah.
”Saya cukup sering menerima pesanan 100 hingga 200 tas kerja yang saya jual Rp 25.000 per buah,” kata Ummah. Sementara untuk produk lainnya ditawarkan melalui bantuan para pemulung yang merangkap menjadi ”sales” saat mencari barang bekas sehari-hari.
Ikut pameran
Penjualan yang semakin meningkat turut mendongkrak pamor produk dari sampah plastik buatan Ummah. Ia pun mulai mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pameran industri kecil dan pameran yang berkaitan dengan produk ramah lingkungan sejak dua tahun lalu.
Saat mengikuti pameran yang diadakan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Selatan, Ummah mendapatkan bantuan lima mesin jahit dari Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo. Hal tersebut dimanfaatkan Ummah untuk mengembangkan usaha.
Ia pun menunjuk delapan karyawan dari pemulung yang dibina ataupun warga sekitar tempat tinggalnya untuk mengerjakan beraneka tas plastik. Dalam sebulan mereka ditarget untuk menghasilkan minimal 500 produk. Tiap karyawan mendapat upah 30 persen dari setiap barang yang terjual.
Dengan mekanisme bagi hasil itu, Ummah mampu mengantongi omzet hingga Rp 3 juta sebulan. Jumlah itu bisa lebih besar apabila ia mendapat pesanan tas kerja untuk seminar yang diadakan pemerintah daerah setempat.
Kiprah Ummah di bidang usaha akhirnya mendapatkan kepercayaan pihak perbankan. Baru-baru ini ia memperoleh pinjaman modal usaha dari Bank Sulawesi Selatan sebesar Rp 20 juta. Dana tersebut rencananya akan digunakan Ummah untuk memperkuat kegiatan usaha mengingat hingga kini produknya belum memiliki pangsa pasar yang jelas dan pasti.
”Terkadang omzet saya bisa turun hingga Rp 1 juta sebulan karena minimnya bantuan dalam memasarkan produk,” ungkap Ummah. Dia berharap peran serta Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk memperkenalkan produk sampah plastik ini ke pasar nasional ataupun internasional.
”Saya yakin respons pasar luar negeri akan positif karena yang ditawarkan produk ramah lingkungan,” tutur Abdul Rachman. Sayangilah lingkungan dengan membeli ”tas sayang lingkungan” ala Ummah ini

No response to “Plastik Jadi Tas Sayang Lingkungan”

Leave a Reply