Salah cetak membawa berkah. Di kantor Happy Astidiana Paramitasari (33) yang bergerak di bidang multimedia, salah cetak atau salah bakar CD lumrah terjadi. Sekalipun jumlahnya tak banyak, sampahnya tetap saja menganggu. Semula, ibu dua anak yang tinggal di Surabaya ini membuangnya begitu saja. Tapi, pada awal 2009, ia punya gagasan untuk memanfaatkannya.
Sejak saat itu lahirlah Design Trash, sebuah program yang mengajarkan bagaimana membuat desain bagus dari bahan sampah. Produk yang dihasilkannya mebel, kotak tisu, tas, dan kerajinan lainnya. Sebagian dari produk ini diekspor. Tak kalah penting, program ini juga memberdayakan secara langsung warga di mana banyak ditemukan sampah dengan jenis tertentu.
Di Pasuruan, Happy mengajak sepuluh perajin memanfaatkan limbah kayu. Di enam desa tertinggal di Tengger, kaki Gunung Bromo, ia mengajak 150 anak muda membuat sandal dan topi dari tanaman eceng gondok. Setidaknya, eceng gondok sebanyak dua keranjang besar diolah setiap pekan.
Happy secara khusus menyebut pekerjaannya di Tengger mendatangkan tantangan tersendiri. Setiap akhir pekan, ia bermobil ke enam desa secara bergiliran. Jarak yang ia tempuh hampir 200 kilometer atau empat jam perjalanan. Para perajin dadakan yang dibinanya berusia 15 sampai 25 tahun, sementara kaum ibu di tempat ini membantu dengan menyediakan tempat dan konsumsi sekadarnya. Mengingat anak-anak muda ini lebih akrab dengan cangkul dan alat pertanian lain, mereka sering kesulitan bila diarahkan membuat sandal dengan komposisi warna tertentu. “Saya akhirnya membuat sendiri contohnya dan meminta mereka meniru,” ujar Happy.
Yang lebih menggembirakan alumni pascasarjarna Desain Produk ITS Surabaya ini adalah semangat perajin muda Tengger. Mereka menyisihkan sebagian penghasilan sebagai buruh tani (Rp 5.000-Rp 10.000 per hari) untuk terlibat dalam proyek ini. Uang mereka biasanya dipakai untuk kegiatan pameran karena sekalipun biaya stan ditanggung pemerintah daerah, mereka mesti membayar sendiri transportasi dan akomodasi. Sering kali mereka hanya menginap di masjid atau warung dekat dengan lokasi pameran.
Menurut catatan Happy, selama setahun terakhir melalui pameran dan jualan langsung di obyek-obyek wisata di Malang, anak-anak muda Tengger itu berhasil mendapatkan uang Rp 8 juta. Angka ini memang masih kecil. Oleh karena itu, uang yang terkumpul tidak langsung dibagi, tetapi disimpan dan digunakan sebagai modal tambahan. Saat ini, mereka sedang menggarap hiasan dinding dari kulit pohon mati dan pulpen dari kayunya.
Design Trash sejalan dengan visi perusahaan Happy, Citramedia & Partners. Dalam operasinya, Citramedia banyak melayani pembuatan desain kemasan untuk produk-produk keluaran usaha kecil dan menengah (UKM). “Kami tak pernah mengenakan fee untuk desain yang kami buat,” kata Happy.
Penghasilan baru diperoleh Citramedia bila perusahaan mendapt order memproduksi kemasannya. Pemosisian Citramedia yang seperti ini membuatnya digandeng perusahaan-perusahaan besar untuk menjadi jembatan antara mereka dan UKM binaan.
Sekalipun kesibukannya sudah seabrek, Happy ternyata masih menyimpan obsesi khusus: mencetak wirausaha sebanyak-banyaknya. Beruntung, keikutsertaannya dalam kompetisi British Council International Young Creative Entrepreneur (IYCE) Design Award 2009 membuat namanya semakin dikenal di Surabaya. “Saya sangat terbantu karena mendapat jaringan kerja baru,” ujar Happy. Ia pun sering ditanggap kampus-kampus untuk menjelaskan tentang ajang ini.
Oleh karena itu, bersama 15 rekan wirausaha muda Surabaya, sebulan lalu ia meluncurkan Program Entrepreneur Sejak Dini. Acara pertama yang digelar adalah seminar kecil bertemakan “Bisnis Online Versus Offline” yang dihadiri sekitar 100 siswa SMA.
Menurut Happy, apa yang dilakukannya bersama teman-temannya adalah upaya meneladani orang-orang sebelumnya yang sudah berjuang tanpa pamrih. “Indonesia butuh sikap ikhlas kepahlawanan yang dapat menginspirasi orang-orang di sekitarnya berpikir positif,” kata Happy.
Di Pasuruan, Happy mengajak sepuluh perajin memanfaatkan limbah kayu. Di enam desa tertinggal di Tengger, kaki Gunung Bromo, ia mengajak 150 anak muda membuat sandal dan topi dari tanaman eceng gondok. Setidaknya, eceng gondok sebanyak dua keranjang besar diolah setiap pekan.
Happy secara khusus menyebut pekerjaannya di Tengger mendatangkan tantangan tersendiri. Setiap akhir pekan, ia bermobil ke enam desa secara bergiliran. Jarak yang ia tempuh hampir 200 kilometer atau empat jam perjalanan. Para perajin dadakan yang dibinanya berusia 15 sampai 25 tahun, sementara kaum ibu di tempat ini membantu dengan menyediakan tempat dan konsumsi sekadarnya. Mengingat anak-anak muda ini lebih akrab dengan cangkul dan alat pertanian lain, mereka sering kesulitan bila diarahkan membuat sandal dengan komposisi warna tertentu. “Saya akhirnya membuat sendiri contohnya dan meminta mereka meniru,” ujar Happy.
Yang lebih menggembirakan alumni pascasarjarna Desain Produk ITS Surabaya ini adalah semangat perajin muda Tengger. Mereka menyisihkan sebagian penghasilan sebagai buruh tani (Rp 5.000-Rp 10.000 per hari) untuk terlibat dalam proyek ini. Uang mereka biasanya dipakai untuk kegiatan pameran karena sekalipun biaya stan ditanggung pemerintah daerah, mereka mesti membayar sendiri transportasi dan akomodasi. Sering kali mereka hanya menginap di masjid atau warung dekat dengan lokasi pameran.
Menurut catatan Happy, selama setahun terakhir melalui pameran dan jualan langsung di obyek-obyek wisata di Malang, anak-anak muda Tengger itu berhasil mendapatkan uang Rp 8 juta. Angka ini memang masih kecil. Oleh karena itu, uang yang terkumpul tidak langsung dibagi, tetapi disimpan dan digunakan sebagai modal tambahan. Saat ini, mereka sedang menggarap hiasan dinding dari kulit pohon mati dan pulpen dari kayunya.
Design Trash sejalan dengan visi perusahaan Happy, Citramedia & Partners. Dalam operasinya, Citramedia banyak melayani pembuatan desain kemasan untuk produk-produk keluaran usaha kecil dan menengah (UKM). “Kami tak pernah mengenakan fee untuk desain yang kami buat,” kata Happy.
Penghasilan baru diperoleh Citramedia bila perusahaan mendapt order memproduksi kemasannya. Pemosisian Citramedia yang seperti ini membuatnya digandeng perusahaan-perusahaan besar untuk menjadi jembatan antara mereka dan UKM binaan.
Sekalipun kesibukannya sudah seabrek, Happy ternyata masih menyimpan obsesi khusus: mencetak wirausaha sebanyak-banyaknya. Beruntung, keikutsertaannya dalam kompetisi British Council International Young Creative Entrepreneur (IYCE) Design Award 2009 membuat namanya semakin dikenal di Surabaya. “Saya sangat terbantu karena mendapat jaringan kerja baru,” ujar Happy. Ia pun sering ditanggap kampus-kampus untuk menjelaskan tentang ajang ini.
Oleh karena itu, bersama 15 rekan wirausaha muda Surabaya, sebulan lalu ia meluncurkan Program Entrepreneur Sejak Dini. Acara pertama yang digelar adalah seminar kecil bertemakan “Bisnis Online Versus Offline” yang dihadiri sekitar 100 siswa SMA.
Menurut Happy, apa yang dilakukannya bersama teman-temannya adalah upaya meneladani orang-orang sebelumnya yang sudah berjuang tanpa pamrih. “Indonesia butuh sikap ikhlas kepahlawanan yang dapat menginspirasi orang-orang di sekitarnya berpikir positif,” kata Happy.
No response to “Happy, Tularkan Virus Wirausaha sejak Dini”
Leave a Reply