Seorang pemulung mengayuh perahunya di lautan sampah plastik di pintu air Penjaringan, Jakarta, Minggu (5/10). Sampah itu kebanyakan berupa kantong plastik dan styrofoam yang sulit membusuk. Gaya hidup konsumtif dan serba praktis meningkatkan secara tajam penggunaan plastik.
Dari bengkel kerja sederhana miliknya, Achmad Iskandar mampu memproduksi lebih dari 900 vas bunga setiap bulan. Barang yang terbuat dari plastik bekas itu dijual ke sejumlah daerah di Kalimantan Timur. Kini, keinginannya hanya satu, yakni memperbesar produksi dan pasar.
Ide bapak enam anak untuk berkecimpung dengan sampah plastik berawal dari ketika dirinya mengikuti kegiatan pameran dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Tingkat Nasional di Balikpapan, Kalimantan Timur, Juli 2008. Saat itu, Iskandar yang mewakili Pemerintah Kota Balikpapan melihat banyak produk daur ulang dari daerah lain yang ikut dipamerkan.Namun, sepanjang mata memandang, produk daur ulang tersebut wujudnya konvensional, mulai dari taplak meja, tas plastik, hingga produk lainnya yang sudah banyak di pasaran. Saat itulah Iskandar yang sebelumnya menggeluti tanaman hias tebersit untuk membuat sesuatu yang berbeda dan lebih baik daripada yang ada. Jatuhlah pilihan membuat vas bunga.
Ia pun kemudian mempelajari berbagai hal tentang plastik. Ia mencoba mencari tahu apa saja yang bisa dibuat dari sampah plastik, bagaimana mengolahnya, hingga bahaya apa yang bisa ditimbulkan olehnya. Iskandar menghabiskan waktu beberapa bulan untuk uji coba sebelum akhirnya berhasil membuat produk yang dianggap sempurna.
Ditemui di rumahnya, Jalan AMD Sungai Ampal Nomor 68, Kota Balikpapan, Senin (16/8/2010), lelaki kelahiran Muara Muntai, 57 tahun silam, ini menunjukkan sejumlah vas bunga buatannya. Ada sekitar 20 macam bentuk, mulai dari yang berukuran tinggi 25 sentimeter dengan diameter 12 sentimeter hingga tinggi 45 sentimeter dengan diameter 40 sentimeter.
Barang daur ulang itu dicat dan diberi gambar, antara lain bunga hingga motif khas Dayak. Selain vas bunga, Iskandar juga mencoba membuat produk lain berupa tiruan batu alam atau yang biasa disebutmarmo. Marmo biasa ditempel pada dinding rumah sebagai ornamen ataupun yang sekadar untuk melapisi lantai seperti ubin.
Oleh Iskandar, produknya dijual mulai dari Rp 25.000 per buah untuk vas bunga dan Rp 175.000 per meter persegi untuk marmo. Selain ke pasar, ia menjual produknya ke kantor-kantor pemerintah daerah dan pameran. ”Sejauh ini pemasarannya baru sampai ke Samarinda, Bontang, Sanggata, dan Tenggarong. Itu pun persentasenya lebih besar vas bunga,” ujarnya.
Metode pembuatan vas bunga ala Iskandar cukup sederhana. Sampah plastik yang sudah terkumpul dimasak hingga berubah menjadi pasta. Setelah itu pasta dituangkan pada cetakan yang terbuat dari semen. Setelah mengeras, baru cetakan dilepas untuk selanjutnya dilakukan proses akhir. Untuk menghaluskan digunakan ampelas dan resin untuk menutup pori-pori.
Semua proses peleburan sampah plastik ini memanfaatkan peralatan manual berupa kompor gas dan wajan berdiameter 18 inci. Ada empat set kompor gas di bengkel Iskandar. Cara melelehkan plastik pun cukup singkat. Untuk meleburkan satu wajan plastik diperlukan waktu sekitar 20 menit, sementara untuk proses pembentukan dibutuhkan waktu 10 menit.
Sampah plastik dari berbagai jenis itu sebelumnya dipilah menjadi tiga bagian, yakni plastik padat, seperti botol oli; plastik lunak, seperti botol air mineral; dan plastik berlapis foil, seperti bungkus makanan kecil. Setelah itu sampah yang memiliki rongga, seperti botol minyak pelumas, dipotong kecil-kecil agar tidak memakan tempat.
”Dari tiga bagian plastik ini kemudian dicampur dengan perbandingan tertentu. Perbandingan ini cukup penting agar plastik bisa bercampur dengan baik dan mengeras. Sebab, jika kebanyakan sampah padat, tidak akan jadi,” ujarnya.
Untuk sekali proses peleburan, Iskandar bisa menghabiskan 150-200 kilogram sampah plastik tergantung persediaan. Dari jumlah itu tercipta sekitar 300 vas dengan rincian satu vas bunga memerlukan bahan baku 0,5 kilogram sampah.
Diakui, ketersediaan sampah plastik menjadi salah satu kendala yang dihadapi. Kota Balikpapan yang cukup kecil, dengan jumlah warga yang tidak terlalu besar, membuat sampah yang dihasilkan masih terbatas. Karena itu, Iskandar mencoba strategi dengan cara merangkul ibu rumah tangga dan pemulung sebagai pemasok utama bahan baku.
Iskandar pun mensosialisasikan kepada warga di Kelurahan Sumberejo—wilayah tempat ia tinggal—tentang pentingnya sampah plastik. Warga diingatkan agar memilih dan mengumpulkan sampah yang masih bisa digunakan. Sampah yang terkumpul itu diantar ke rumah Iskandar. Sebagai bentuk penghargaan dan memotivasi warga, Iskandar membayar Rp 1.000 untuk setiap kilogram sampah.
”Sebelumnya saya hanya membeli sampah seharga Rp 500 per kilogram dari warga di kota dan Rp 1.000 untuk warga yang berada di pinggir laut. Tujuannya agar warga tidak membuang sampah ke laut. Namun, dalam perkembangannya, warga yang berada di kota kurang termotivasi untuk mengumpulkan sampah. Akhirnya, sejak satu tahun lalu harganya disamakan,” katanya.
Selain bahan baku, kendala lain yang dihadapi Iskandar adalah minimnya peralatan. Dengan peralatan yang ada saat ini jelas sekali produk yang dihasilkan masih terbatas. Karena itu, sejumlah upaya telah dilakukan untuk mewujudkan usaha yang lebih besar dengan alat-alat pabrikan, salah satunya membuat badan hukum usaha menjadi CV Prima Executive dengan maksud untuk memperkuat posisi ketika ada pihak ketiga yang ingin bekerja sama.
Mendaur ulang sampah menjadi barang baru bukan saja menjadi solusi untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru karena Iskandar sudah memiliki enam karyawan. Lebih dari itu, membuat produk daur ulang adalah upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan.
No response to “Vas Bunga dari Sampah Plastik”
Leave a Reply