Minggu, 17 Februari 2013

Jutawan Ikan Bawal


Sejak sekolah dasar, ia sudah berjualan gorengan. Pernah menjual sayuran, menjadi kondektur, mengajarkan les privat, dan ketika mahasiswa, Ance Trio Marta berdagang roti keliling. Kini ia menjadi jutawan karena ikan bawal air tawar.
suksesikanbawalTak banyak anak muda, apalagi mahasiswa, yang meyakini masa depan perikanan. Sarjana perikanan pun banyak yang menyerah dan memilih usaha lain.
Tetapi, Ance Trio Marta yang waktu itu mahasiswa—sekitar tiga tahun lalu—yakin bahwa usaha perikanan itu “seksi” dan potensial. Keyakinan itu membawanya sukses dan terpilih sebagai juara I Wirausaha Muda Mandiri 2010.
Sudah banyak kabar tersiar tentang pengusaha yang terpuruk di bisnis kolam ikan. Namun, Ance tak gentar. Hasilnya, ia juga berkali-kali gagal, tetapi tetap bersemangat.
Ketertarikan Ance di bisnis ikan dimulai dari “kecelakaan”. “Waktu itu, 18 September 2007, saya mengantar teman membeli tanah,” ujar Ance menceritakan perjalanan pertamanya ke Desa Cibuntu Kulon, Kecamatan Ciampea, Bogor, Jawa Barat.
“Waktu itu, saya lihat ada bak sampah di bekas kolam yang tidak dipelihara. Kolam itu kemudian saya sewa Rp 300.000 per tahun. Luasnya sekitar 500 meter persegi,” tuturnya.
“Saya coba menebar ikan lele, tetapi empat kali rugi. Saya pindah ke kolam lain dan berhasil. Ternyata, kolam pertama terlalu dingin, enggak cocok untuk lele,” kenangnya. Bekas kolam itu kini menjadi kolam pembibitan ikan bawal.
Ketika itu, Ance berhasil di bisnis lele, tetapi kemudian rugi Rp 120 juta. “Padahal, itu uang investasi dari teman-teman. Saya bingung, mau lanjut kuliah atau kerja untuk melunasi utang,” ujarnya.
Ia memilih bertahan dengan beralih pada pembenihan ikan. Sempat putus asa karena tak punya modal, tahun 2008 dia membuat profil usaha di situs web layanan direktori usaha.
“Saya sebutkan bahwa saya menjual segala jenis bibit ikan. Dari internet itu, ada yang mengontak saya, order bibit ikan,” kata Ance yang mencari bibit ikan ke berbagai daerah.
Dia telusuri asal-usul bibit ikan. “Dari situlah saya tahu kebutuhan konsumsi ikan dan pasokan bibit. Saya menjadi tahu seluk-beluk pembibitan, pembesaran, dan pemasarannya,” katanya.
“Saya sempat menjadi calo bibit ikan selama tiga bulan. Dari usaha itu saya mendapat keuntungan. Uangnya saya pakai membeli indukan bawal,” katanya.
Tragisnya, indukan yang berharga itu dicuri. Dia sempat terguncang karena duit yang digunakan untuk membeli indukan itu merupakan tabungan yang dikumpulkan sedikit demi sedikit.
“Uang saya ludes, tersisa Rp 300.000. Dari jumlah itu, yang Rp 200.000 saya berikan kepada pegawai, Pak Mantri namanya. Saya bilang kepada dia, itu uang hasil keuntungan bisnis kolam,” katanya.
“Kita untung Pak, tetapi masalahnya saya tak punya modal karena indukan dicuri. Apa Bapak punya sertifikat tanah yang bisa digunakan untuk modal?” kata Ance, menirukan ucapannya ketika itu kepada Pak Mantri.
Pak Mantri pun merelakan sertifikat tanahnya dijadikan agunan bank. Tahun 2008 ia mendapat kredit Rp 10 juta untuk modal dasar membeli indukan ikan bawal.
“Saya membeli indukan 3 kuintal, sekitar 100 ekor. Saya berkonsentrasi pada penyediaan larva ikan bawal,” katanya. Hari demi hari ia lewati dengan target pertama mengembalikan utang.
Masa lalu
Ance bercerita, ayahnya seorang kontraktor di Riau. Tetapi, karena suatu hal, sang ayah bangkrut dan asetnya dijual guna menutupi kebangkrutan. “Kami pindah dari kota ke kampung. Saat itu saya kelas III SD.”
Di kampung, orangtuanya bertani untuk mempertahankan hidup. “Orangtua saya petani biasa, menanam cabai, tomat, dan apa saja yang bisa ditanam di kebun,” katanya.
Maka, saat di kelas IV SD, Ance memulai usaha. “Saya menjual apa pun, seperti gorengan di sekolah. Saya juga dagang sayuran, orangtua tak tahu-menahu soal ini. Duitnya saya gunakan membeli buku,” katanya.
Ance juga menjadi kondektur mobil angkutan. “Ketika SMA, saya menjadi guru privat mengajar Bahasa Inggris untuk siswa SD. Nilai uangnya tak seberapa, tetapi buat saya, semangat kerja itu yang penting,” katanya.
Walau sibuk, prestasi akademisnya tak mengecewakan. “Di SMP saya juara umum, sewaktu SMA masuk lima besar,” katanya.
Kondisi ekonomi keluarga pun tak membuat langkah Ance surut untuk menikmati bangku kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB). “Baju dan sepatu ketika SMA saya bawa semua ke Bogor biar bisa berhemat,” katanya.
Sampai di Bogor, ia mulai memutar otak untuk membiayai kuliah. Ketika masih semester I di IPB tahun 2005, ia berdagang roti keliling ke tempat-tempat indekos. “Satu roti harganya Rp 300, saya jual Rp 500,” tutur Ance yang saat itu juga berbisnis multilevel marketing (MLM).
Bangkit
Setahun setelah mendapat kredit bank, bisnis Ance mulai bangkit. “Saya bisa membayar utang kepada teman-teman. Keuntungannya juga lumayan,” katanya.
Secara matematis, tiap induk menghasilkan 200.000 anakan. Anakan umur seminggu dijualnya seharga Rp 10 per ekor. Ance memiliki ratusan ekor induk, jadi bisa dihitung pendapatannya. Kunci dari keberhasilannya adalah membuat sistem bisnisnya lebih dulu.
“Saya cari dulu orang yang mau membeli ikan siap konsumsi. Lalu, saya cari petani yang mau membesarkan bibit ikan sehingga semua siklus bisa dipegang. Saya belajar sambil jalan, learning by doing,” katanya.
Dari sisi keahlian, Ance bukan ahli pemijahan atau pembesaran ikan. Teknik itu ia pelajari dari petani setempat. Keunggulannya adalah menyatukan semua jaringan pada seluruh level bisnis ikan, mulai dari pembibitan, pembesaran, hingga pemasaran.
Ia menggunakan model inti plasma. Para petani sekitar diajaknya bekerja sama membesarkan larva dan bibit bawal. Ketika panen, Ance menangani pemasarannya.
Ia juga melebarkan sayap bisnis dengan pengolahan ikan dan bisnis restoran bermenu ikan. “Saya juga membuat rumah pelatihan di areal wisata yang akan saya beli,” kata anak ketiga dari empat bersaudara ini.
Kini dia mempunyai plasma 12 orang dan petani larva 25 orang di sejumlah wilayah di Jawa Barat. Kisah Ance terasa manis dan mudah diikuti. Namun, sebelum mengikuti jejaknya, ingat bahwa dia pernah gagal berkali-kali

No response to “Jutawan Ikan Bawal”

Leave a Reply