Kamis, 07 Februari 2013

Sukses "Credit Union"



 Jalan hidup Pintaraja Marianus Sitanggang berubah sepulang mengikuti seminar perburuhan di Baguio City, Filipina, tahun 1970. Sitanggang yang saat itu menjadi guru SMA Katolik Budi Mulia, Pematang Siantar, Sumatera Utara, berada di Filipina karena ditugaskan Pengurus Pusat Persatuan Guru Katolik.
Salah satu materi seminar perburuhan itu tentang credit union (CU), yang di Indonesia diterjemahkan secara bebas sebagai koperasi kredit. Sepulang dari Filipina, Sitanggang tergerak mendirikan CU di sekolahnya.
Ia mengajak guru dan karyawan SMA Budi Mulia. Namun, kondisi ekonomi saat itu belum pulih setelah lonjakan inflasi pada akhir pemerintahan Presiden Soekarno. Ini membuat tak banyak orang tertarik pada ide koperasi simpan pinjam itu.
Sitanggang tak kehilangan akal. Sebagai ketua yayasan, ia lalu memotong sebagian gaji guru dan karyawan sebagai simpanan saham. Simpanan saham dalam Undang-Undang Koperasi dikenal dengan istilah simpanan wajib anggota.
Ia juga mengajak guru dan karyawan SMA Cinta Rakyat bergabung agar permodalan CU semakin kuat. Pada tahun 1973 terbentuklah CU Cinta Mulia.
Pada awal tahun 1970 pula, Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Agung Medan mengadakan kursus dasar pembentukan CU. Mendengar di Pematang Siantar sudah ada CU yang didirikan Sitanggang, Keuskupan Agung Medan membentuk tim untuk menyosialisasikan ide pendirian CU ke beberapa daerah lain di Sumut.
”Waktu itu lembaga keuangan, apalagi koperasi, hampir tak dipercaya masyarakat. Di sisi lain, masyarakat miskin di desa-desa tak mengenal konsep menabung karena untuk makan saja sulit,” ujarnya.
Tantangan membentuk permodalan bersama bagi rakyat miskin di pedesaan tak menyurutkan semangat Sitanggang. Ia tak ragu mendatangi kedai tuak, mengunjungi rumah warga di pelosok Sumut, hanya untuk memberi pemahaman bahwa semiskin-miskinnya orang masih ada yang bisa mereka sumbangkan.
Dengan berkantor di gereja selama 10 tahun pertama, CU mulai dilirik masyarakat. ”Wibawa gereja membuat masyarakat percaya kepada CU,” katanya.
Namun, awal tahun 1980 gereja menarik diri dari pengembangan CU. ”Secara perlahan gereja mundur karena memang bukan tugasnya,” ujar Sitanggang.
Hikmahnya, CU menjadi semakin inklusif. CU menjadi lembaga keuangan yang tak hanya dimiliki jemaat gereja Katolik, tetapi juga mereka yang beragama lain.
Mulai bermunculan
Setelah Pematang Siantar, CU kemudian berdiri juga di Pakkat dan Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, Siborongborong, Tapanuli Utara, Aek Kanopan, Labuhan Batu Utara, Tebing Tinggi, serta Barus dan Manduamas, Tapanuli Tengah.
Bermunculannya CU ini lalu menumbuhkan Badan Pengembangan Daerah Koperasi Kredit Sumut yang menjadi cikal bakal koperasi sekunder (pusat koperasi di tingkat provinsi), Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah (BK3D). Penyesuaian nama sejalan dengan Undang-Undang Koperasi, membuat BK3D diubah menjadi Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit), dan Sitanggang menjadi ketuanya hingga kini.
Ia juga menjaga filosofi koperasi sebagai lembaga keuangan yang didirikan secara bersama untuk mengubah nasib anggotanya. Ia memegang teguh prinsip; koperasi dibentuk karena ada sekelompok orang yang merasa senasib dan menyadari bersama nasib mereka harus diperbaiki.
”Kebersamaan di CU diwujudkan dengan menyimpan dan memberikan pinjaman kepada anggota yang paling memerlukan,” ujar Sitanggang yang juga bercerita bahwa hingga akhir tahun 1970 CU tak boleh menggunakan nama koperasi.
”Ini karena koperasi di desa, menurut pemerintah, hanya satu, yakni KUD (koperasi unit desa). CU terpaksa bergerak sembunyi-sembunyi karena kalau ketahuan pemerintah saat itu kami dipaksa masuk KUD. Padahal, banyak KUD mengingkari prinsip koperasi. Pengurusnya ditunjuk pejabat di daerah di mana KUD berada, bukan berdasarkan kemauan anggota,” katanya.
Selain itu, ia juga harus berusaha menyadarkan warga miskin di pedesaan agar menyisihkan sebagian uang mereka sebagai simpanan saham anggota CU. Pada awal pendirian, simpanan saham anggota CU Rp 200 per bulan. Kini, simpanan saham Rp 10.000-Rp 50.000. ”Simpanan saham ini menjadi tanda andil anggota sebagai pemilik CU,” ujarnya.
Daya tarik
Sebagai koperasi simpan pinjam, daya tarik CU adalah penyaluran kredit atau pinjaman kepada anggota. Guna menghimpun modal, CU juga memiliki berbagai produk simpanan nonsaham, seperti simpanan bunga harian (sibuhar) yang mirip tabanas, simpanan pendidikan (mirip tabungan berencana), dan simpanan sukarela berjangka (mirip deposito).
Sebagai lembaga pembiayaan, saingan CU adalah bank. Jadilah persaingan itu berkaitan dengan penentuan suku bunga. Jika suku bunga simpanan bank di bawah 9 persen, CU menetapkan di atasnya, yaitu 9-15 persen. Jika suku bunga pinjaman bank dihitung berdasarkan total pinjaman, suku bunga pinjaman CU berlaku menurun, dihitung dari sisa pokok pinjaman dengan besaran bunga 2,5 persen. ”Di desa yang CU-nya besar, bank umumnya enggak laku.”
”Tetapi, kami juga harus menjaga ’penyakit’ anggota CU, yang biasa disebut lapar kredit. Saya selalu ingatkan filosofi CU yang utama adalah keswadayaan. Kredit diberikan kepada mereka yang paling membutuhkan di antara anggota. Makanya, CU menetapkan beberapa aturan agar seseorang bisa mendapatkan kredit, salah satunya hadir rutin dalam pertemuan kelompok, prestasinya dalam menabung, dan tak bermasalah dalam pembayaran pinjaman,” katanya.
Sebagai koperasi yang sejak awal ingin memberdayakan warga miskin, terutama di pedesaan yang warganya mayoritas petani, CU menjadi penolong. ”Kami bisa memberikan pinjaman bagi anggota yang mengalami gagal panen. Kalau mereka tak diberikan stimulus pinjaman baru, justru nantinya bakal menjadi kredit macet di CU,” katanya.
Kerja keras Sitanggang selama 40 tahun berbuah manis. Berawal sebuah koperasi yang dibentuk dari dua SMA di Pematang Siantar, kini ada 61 CU di bawah Puskopdit BK3D Sumut. Total aset CU di bawah Puskopdit BK3D ini, per November 2010, mencapai Rp 1 triliun. Uang tersebut semuanya berasal dari simpanan saham anggota CU yang jumlahnya lebih dari 250.000 anggota.

No response to “Sukses "Credit Union"”

Leave a Reply