Fauzan Hangriawan melakukan dua inovasi, yakni beternak lele di lahan perkotaan dan merintis jalinan kerja sama dengan peternak untuk mengusir tengkulak.
Jika biasanya usaha peternakan berlokasi di perdesaan, Fauzan Hangriawan membuka budi daya lele di lahan terbatas di belakang rumahnya, di kawasan Cipedak. Jakarta Selatan. Sylva Farm, nama usaha peternakan itu, dirintis pada 2008.
Ide usaha tercetus saat Fauzan membaca berita di surat kabar yang berkisah tentang budi daya lele. Lelaki kelahiran Pontianak, 24 Juli 1986. itu akhirnya berguru langsung kepada penemu varietas lele yang diyakini lebih unggul ketimbang dumbo. Fauzan memang tak memiliki latar belakang pendidikan terkait perikanan. Ia adalah sarjana hukum dari Universitas Atma Jaya, Jakarta.
“Saya mencari varietas lele cepat panen, tahan penyakit, unggul, induknya sustained. Ternyata, varietas sang kuriang ini menurut saya paling baik. Lagi pula varietas ini direkomendasikan pemerintah,” ujar Fauzan.
Fauzan menyadari bahwa peluang terbuka lebar, tapi risiko kerugian juga mengintai. Kematian lele bisa mencapai 100% jika dirawat tanpa teknik memadai.
Pasalnya, setiap lokasi peternakan membutuhkan penanganan berbeda, bergantung pada temperatur dan air. “Kesulitannya curah hujan yang tidak menentu dan suhu berubah-ubah. Pagi panas, tiba-tiba sore hujan. Pada hal lele membutuhkan suhu cukup hangat untuk berkembang dengan baik, sekitar 28-32 derajat celsius. Kondisi air juga memengaruhi. Kalau masih alami, lele akan berkembang dengan baik. Kalau tidak, perlu ada modifikasi,” jelasnya.
Setelah merasa usaha yang digarap di belakang rumahnya itu stabil, ia mulai mengembangkan usaha. Fauzan mengajak dua rekannya berkolaborasi membuka kolam di daerah Depok. Satu temannya menyumbang tanah sebagai bentuk investasi, teman lainnya menginvestasikan uang sebagai modal kerja.
Fauzan berperan di tingkat operasional. Selama enam bulan mereka sudah bisa menutup modal. Akhirnya Fauzan memutuskan untuk mengelola sepenuhnya dan mengembalikan investasi kepada kedua temannya. Lokasi kolam pun dipindahkan ke tempat yang lebih luas.
“Lahan di Depok itu awalnya 200 m2. Kami jadikan delapan kolam. Tapi, akhirnya ditutup dan dipindah ke lahan 3.500 m2 dengan sistem sewa. Bangunan pendukung, saya bangun sendiri. Saat itu saya sudah tidak melibatkan pihak ketiga,” cetus Fauzan.
Fauzan membuka kolam ketiga di Cipedak, tak jauh dari lokasi pertama dengan sistem bagi hasil. Luasnya sendiri lebih kecil, sekitar 500 m2. Menurut dia, itu resiko jika ingin membudidayakan lele di wilayah perkotaan. Kolam-kolamnya menggunakan air tanah sebagai habitat lele.
“Dalam sebulan kita mampu memproduksi sekitar 6 ton lele konsumsi dari tiga lokasi berbeda, dan produksi benih sekitar 200 ribu hingga 300 ribu ekor. Untuk ikan konsumsi, kita hanya mampu memasok permintaan yang dekat sini saja, sedangkan kalau benih kita bisa kirim hingga ke luar kota. Kita pernah kirim hingga ke Gorontalo,” sambung Fauzan.
Bisnis berkelompok
Fauzan menyatakan permintaan pasar terhadap lele umumnya lebih tinggi dari pada kemampuan produksi produsen. Pengusaha lele umumnya hanya memiliki sedikit kolam sehingga kontinuitas produksi diragukan pasar. Celah itu pun mengundang tengkulak berdatangan. Sayangnya, kehadiran tengkulak malah menjepit para petani lele.
Daya tawar petani yang rendah dimanfaatkan oleh mereka dengan menekan harga beli jauh dari harga pasar. Itu pun baru dibayarkan setelah petani menyetorkan lele ketiga kalinya dan tidak dibayar sepenuhnya. Jika petani berniat untuk menarik diri, tengkulak akan kembali menekan mereka. Fauzan menyebut cara kerja itu tak ubahnya seperti mafia.
“Sulit melawan karena pedagang mintanya setiap hari. Untuk menyiasati itu, kita harus berkelompok. Masyarakat yang menganggur dan punya lahan dimotivasi untuk ikut budi daya. Setelah itu kita rangkul. Mereka beli benih di kami. Selanjutnya lakukan penjadwalan panen. Ada 30 petani yang bergabung di komunitas kami,” jelasnya.
Fauzan tidak memberlakukan sistem kontrak terhadap petani komunitasnya. Ia hanya menawarkan harga lebih tinggi daripada harga tengkulak sehingga komitmen terbentuk secara tak langsung.
Selain itu, ia juga membuat jalur perdagangan ikannya sendiri dengan membuka outlet ikan segar pada 2011. Meski terbilang baru, gerainya sudah memiliki pelanggan tetap. Bahkan ia sering kewalahan menerima pesanan.
“Stok ikan lele itu paling lama tiga hari. Padahal idealnya kalau mau aman ya seminggu. Bahkan, sering kali stok hari itu habis. Kalau untuk pesanan besok, ya kita lihat besok deh. Ini yang masih jadi tantangan.” cetusnya.
Omzet usaha Fauzan kini mencapai lebih dari RplOO juta per bulan. Pada 2010 ia diganjar penghargaan Wirausaha Muda Mandiri atas besaran omzet dan pendekatannya pada komunitas sekitar.
“Untuk kalangan menengah ke bawah, mereka memilih mengonsumsi lele karena secara 1 kilogram lele konsumsi isi 6-10 ekor cukup bayar Rpl6 ribu. Adapun untuk, kalangan menengah ke atas, mereka melihat kualitas dan rasanya yang enak,” pungkasnya. (media indonesia)
No response to “Jutawan Lele Terbatas”
Leave a Reply